✼ ҉ ✼ ҉ ✼ ✼ ҉ ✼ ҉
BEEF OFFAL
Hari ini setelah pulang sekolah, kami pergi ke sebuah kedai kecil yang memang telah menjadi pilihannya. Katanya, ia sangat suka makanan di tempat ini. Ya, mulai hari ini mau tak mau aku harus mengikuti keinginannya. Entah sebenarnya sebanyak dan senormal apa keinginan yang ia tulis di dalam buku catatan pribadinya itu. Tapi, ini bukan sukarela. Lebih tepatnya, semua ini karena hasil dari tawar-menawar bercampur setengah paksaan dengannya saat di perpustakaan kemarin. Aku keliru karena sempat meremehkannya. Ternyata, ia orang yang sangat ahli dalam berdebat. Bahkan tidak ada jalan keluar bagiku untuk bisa menolaknya.
"Wah! Enak sekali!" pekiknya senang sembari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di udara. Apa yang dilakukannya? Seperti kelakuan bocah lima tahun saja.
"Jika kau ingin makan daging sapi pedas seperti ini, seharusnya makanlah bersama keluargamu. Tidak perlu meminta orang lain menemanimu seperti ini." Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Jadi, keinginan pertamanya adalah menemaninya makan daging sapi pedas bersama? Sangat konyol.
"Hey! Jangan bicara seperti itu. Ini! Makanlah jeroannya." Dengan bersemangat ia memasukkan begitu banyak jeroan sapi ke dalam mangkuk milikku.
Baiklah, aku memang sangat lapar. Dan ingin langsung mencicipinya saja. Aku mulai menyumpit daging yang berukuran kecil terlebih dulu. Saat bersiap memasukkannya ke dalam mulut, bersamaan dengan itu pula suara nyaring miliknya mengalihkan atensiku.
"Itu adalah pankreas sapi," katanya dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. Membuatku kembali menyimpan daging yang katanya pankreas sapi itu ke dalam mangkuk milikku.
"Jadi ... apakah makan pankreas sapi adalah salah satu metode penyembuhanmu?" tanyaku penasaran sembari memperhatikannya yang makan dengan begitu lahapnya. Melihatnya saja sudah membuat perutku merasa sangat kenyang. Apakah selera makannya memang setinggi itu?
Ia terlihat terdiam sebentar. Tampak memikirkan sesuatu.
"Ehm, tidak. Aku makan itu, karena aku memang menyukainya. Saat ditanya apa makanan kesukaanku, maka aku akan menjawab jeroan. Dan kesukaanku adalah jeroan perut," jelasnya panjang lebar."Paman! Aku pesan usus dan hati, ya!" mintanya pada pemilik kedai di seberang sana. Dengan sigap, si pemilik kedai pun mengiyakan dan segera membuatkan pesanannya.
"Lalu apakah tidak ada pantangan khusus untukmu? Makanan misalnya?" tanyaku setelahnya.
Sejenak ia menatap ke arahku tanpa ekspresi sebelum menemukan jawabannya.
"Ehm, secara dasar tidak ada. Kata dokter, itu karena perkembangan medisku selama enam tahun terakhir ini." Apa? Enam tahun? Jadi, ia telah mengidap penyakit itu sejak lama? Salah satu fakta mencengangkan yang baru saja kudapatkan tentang dirinya."Ternyata tanpa kita sadari kekuatan manusia itu sangat hebat, ya," ucapnya sembari menyumpit beberapa daging di mangkuknya.
"Selama ini, meskipun penyakitku sangat mengancam nyawa, tapi itu tidak pernah mempengaruhi kehidupanku sehari-hari. Aku tidak pernah merasa kesulitan. Dan aku masih bisa melakukan apapun dengan normal seperti kebanyakan orang lain pada umumnya. Hebat, kan?" Seolah-olah ia berkata padaku agar tidak terlalu mengkhawatirkan keadaannya. Dan tidak memperlakukannya seperti orang yang lemah, yang bisa mati kapan saja.
Selang tak berapa lama datanglah paman si pemilik kedai dengan membawa nampan besar berisikan dua mangkuk penuh berisi jeroan usus dan hati yang dipesan olehnya tadi. Setelah mengucapkan terimakasih, ia pun sibuk memanggangnya dalam hening. Sementara, aku pun kembali menyuapkan daging ke dalam mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WANT TO EAT YOUR PANCREAS
De TodoHubungan diantara mereka bukanlah semacam hubungan dengan julukan yang pasaran. Bukan itu. Bukan pula hubungan tentang persahabatan ataupun cinta. Namun, lebih daripada itu. Bisa dibilang, hubungan mereka adalah hubungan yang platonis. Dimana sebena...