Cemburu

151K 8K 1.1K
                                    

Vano masuk ke dalam ruangannya dan melihat Diana yang sedang duduk di kursi miliknya. Melonggarkan dasinya, Vano memilih duduk di sofa sambil meminum air.  "Apa yang ingin kau bicarakan?"

Diana menatap ke arah jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota. "Apa kau tau Santoso Budiman dan Dani Kurniawan?"

"Mereka adalah manajer pemasaran dan manajer teknologi informasi."

Diana bangkit dari kursi empuk Vano lalu berjalan ke arah sofa dan duduk tepat di samping pria itu. "Ohh, pantas saja mereka memiliki keberanian terhadap pegawai yang lebih rendah. Ck, orang seperti mereka tidak pantas menjadi manajer." 

"Dari mana kau tau mereka?"

"Tadi saat di lift mereka melakukan pelecehan kepada pegawai wanita-"

"Kau tidak apa-apa?!" potong Vano.

"Aku tidak apa-apa, mereka tidak menyentuhku. Mereka hanya mengira aku adalah wanita kiriman seperti wanita-wanita sebelumnya."

"Shitt! aku akan menemui mereka!"

"Vano aku tidak apa-apa, sekarang yang harus kita lakukan adalah mencari tau siapa yang mengirim wanita-wanita itu. Pasti ada alasannya mengapa mereka melakukannya karena yang mendapat kiriman wanita tidak hanya kau, bisa saja ada orang lain lagi yang menerima selain dua manajer mesum tadi."

Vano melepaskan dasi dan jas miliknya. "Aku juga sedang menyelidiki siapa saja yang mendukung Antonio di perusahaan ini, setelah apa yang kau katakan bisa saja Santoso dan Dani merupakan pendukung Antonio."

"Ku rasa itu bukan yang pertama kalinya mereka melakukan pelecehan, tolong kau selesaikan masalah ini karena sepertinya pegawai wanita tadi tidak berani melapor karena diancam."

"Kau benar tidak apa-apa? rasanya aku ingin membunuh mereka!"

Diana menghela nafas lalu tersenyum manis. "Lihat aku tidak apa-apa. Mereka tidak akan mungkin bisa menyentuhku."

Vano mengangguk lalu dengan tiba-tiba memeluk Diana, bahkan pria itu dengan tidak tau diri menyandarkan kepalanya di dada milik Diana. Sedangkan Diana sebisa mungkin menahan untuk tidak memukul kepala Vano, karena yang ia lihat pria itu tampak memiliki banyak masalah. 

Lima belas menit berlalu namun pria itu tidak kunjung melepaskannya. "Apa kau tidur? jika ingin tidur lebih baik di kamar, bukan kah kau punya kamar pribadi disini. Aku ingin pergi."

Bukannya bangun, Vano malah semakin memeluk Diana. "Aku tidak mau, disini lebih nyaman." balas Vano sambil menduselkan hidungnya.

Diana yang kesal mendorong Vano sekuat tenaga sampai kepala pria itu terkena meja. "Akhh!"

"Kau tidak apa-apa? makanya jangan jadi kurang ajar, gini kan jadinya," ketus Diana. Seharusnya ia tidak usah terlalu baik kepada Vano karena lihat lah kelakuan pria itu sekarang, menjadi kurang ajar. 

Vano menatap Diana datar lalu pandangannya turun ke dada Diana. "Mereka milikku, jadi terserah aku ingin memeluknya sampai kapan."

Diana berdecak, seharusnya ia dorong lebih kuat tadi pria itu. Mungkin dengan begitu otaknya bisa kembali waras. 

"Kau ingin kemana?" tanya Vano ketika melihat Diana memakai tasnya.

"Aku? aku ingin mencari pria tampan diluar sana."

"Aku kan tampan."

Diana melihat dengan intens Vano yang masih duduk dibawah. "Kau memang tampan, tapi sayangnya tidak waras." Setelah mengatakan hal itu Diana pergi meninggalkan Vano yang tampak menyedihkan, jujur Diana jadi merinding melihat kelakuan manja pria itu.

Transmigrasi DianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang