What's next?

573 59 49
                                    

Setahun sudah berlalu, Bumi semakin terancam, berada di perempatan jalan menuju kebodohan yang berakhir pada kemusnahan.

Leila melempar remot di tangannya ke sembarang arah lalu bersandar di kursi belajarnya, "Aku malu menjadi seorang manusia." gumamnya kecil.

Ia lalu menarik jaket kulitnya dan berhambur ke luar kamar, menuruni tangga. Di ruang keluarga, ibunya juga sedang menonton berita yang sama, soal tentara Israel yang berhasil mengepung beberapa wilayah Afrika Utara, yaitu Sudan dan Chad.

"Ummah, saakhruj ilal bustani" (Mom, aku keluar ke taman)

"Hati-hati"

Sepanjang perjalanan, di setiap sudut pasti terlihat tentara yang berjaga. Sejak Baitul Maqdis hampir dikuasai, mereka menambah tenaga militer untuk melancarkan serangan lanjutan.

Leila memarkir mobilnya di bawah pohon yang rindang. Pemakaman sepi, mayat-mayat yang terkubur di dalamnya tidak pernah mendapat kiriman doa, apalagi sekedar mencabut rumput sekitar.

Ia berbelok ke kiri lalu lurus mengikuti jalan yang dilapisi batu marmer. Berjongkok di depan sebuah makam. Lalu mulai mencabut rumputnya.

"Itu bukan tugasmu." tegur seorang pemuda dengan pakaian yang sangat sederhana, berdiri tidak jauh darinya

"Ini bukan urusanmu." balas Leila ketus. "Tidak, bukan begitu. Membersihkan makan sudah menjadi tugas kami. Kau tidak perlu repot-repot melakukannya."

"Kau juga tidak perlu repot-repot memberitahuku." balas Leila lagi

"Justru aku ke sini karena ingin memberitahumu sesuatu."

•••

Pemuda tadi adalah seorang mahasiswa yang juga berkuliah di tempat yang sama seperti Leila. Ia bekerja paruh waktu sebagai admin pemakaman, terdengar sedikit aneh memang.

"Oh, begitu. Aku Hourani, namamu?"

"Aku sudah tau. Kau kan cukup terkenal setelah kejadian itu. Aku Daniel Herz."

"Haha, begitu ya. Lalu, apa yang ingin kau beritahu padaku?"

"Soal makam itu. Aku tidak yakin dia dimakamkan di sana."

"Loh? Kenapa?"

"Aku tahu betul siapa saja yang baru saja dimakamkan, yang sudah setahun lalu, ataupun sepuluh tahun lalu. Selama setahun terakhir, aku tidak ingat ada yang bernama Chance."

"Mungkin kau keliru, kawan. Lihat baik-baik tulisan di batu nisan itu."

"Hanya batu nisan. Bagaimana kau percaya hanya pada tulisan di batu nisan?"

"Memangnya ada yang keliru?"

"Bukan itu poin pentingnya. Lihat baik-baik, batu nisan dan keramik makamnya berbeda." Leila memperhatikan yang dikatakan Daniel,

"Biasa saja, menurutku."

Daniel menghela napas, "Coba lihat, bagaimana mungkin batu nisannya berwarna sedikit lebih cerah daripada keramik makamnya?"

"Eh?" Leila melihat sekeliling, memang iya, hanya batu nisan Greyson yang terlihat baru meski sudah satu tahun, dan yang lainnya berwarna agak pudar.

"Setahun yang lalu, mendadak beberapa pihak memaksaku untuk mengambil waktu libur, dengan alasan aku sibuk sebagai mahasiswa."

"Aku masih tidak mengerti, Daniel. Apa yang kita bicarakan di sini?"

"Mungkin ini terdengar konyol, tapi orang bernama Chance itu..."

"Orang yang bernama Chance?" ulang Leila

"Dia tidak pernah dimakamkan di sini."

"Haahh? Memangnya ada pemakaman lain di kota ini? Setahuku inilah satu-satunya pemakaman yang ada dan paling luas."

"Tidak ada. Bahkan aku baru saja memikirkan sesuatu,"

"Apa?" Leila menatapnya malas

"Mungkin, ia memang belum mati."

••••

CryonicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang