Tepat pukul satu malam, sebuah container tiba di halaman belakang gedung. Seorang sopir bertubuh tambun turun setelah ia mematikan mesin mobil.
"Ada berapa isinya?" tanya seorang pria dengan jaket hodie yang dikancing hingga ke leher, ia sudah lama menunggu di sana.
"Ada sepuluh. Sisanya menyusul dua hari lagi. Karena tadi kabin pesawat sudah penuh."
"Tidak apa. Terima kasih, Ted. Mari masuk dulu. Kami baru saja menyeduh teh." ajak pria itu. Lalu menyuruh beberapa petugas khusus untuk memindahkan isi container tersebut ke tempat yang lebih aman.
Pria yang memakai jaket hodie-Samuel Jacobs, melepas jaketnya lalu duduk di salah satu bangku panjang, diikuti pria tambun tadi-Ted Khazef, asistennya.
"Kapan mereka akan dipakai?" tanya Ted.
"Besok. Besok akan kuumumkan pada mereka tentang percobaan kita. Huh, aku benar-benar tidak sabar, Ted."
"Kau sudah yakin? Sudah kau perhitungkan matang-matang bagaimana hasilnya, kan?"
"Tentu! Aku tidak mungkin mencelakai mahasiswaku sendiri, kan?" ia menyeruput tehnya. "Pernahkah kau memikirkan bagaimana jika kita berhasil nanti, Ted? Kita akan jadi pusat perhatian dunia, karena hasil percobaan kita yang luar biasa." pertanyaaan itu hanya ditanggapi Ted dengan mengangkat bahu. Petugas khusus yang ditugaskan memindahkan barang datang melapor.
"Sudah selesai, Pak. Ini daftar nama yang kami catat. Silahkan dicek."
Samuel membacanya dengan teliti. Setelah memastikan keadaan aman. Samuel, Ted, dan rombongan petugas pulang ke rumah masing-masing.
***
Secepat mungkin Leila berjalan meninggalkan taman, ia terlalu asyik membaca buku hingga lupa kalau sebentar lagi mata kuliah pertama masuk.
"Leila! Tunggu!" teriak seseorang yang dikenalnya dari belakang. Sengaja ia menghiraukannya, karena ia tahu mereka akan menuju kelas yang sama. Hingga laki-laki itu berhasil meraih tangannya.
"Tidak bisakah kita berjalan santai bersama, Leila? Aku hampir tidak bisa menghirup oksigen." katanya tersengal.
"Tidak usah banyak bicara. Lima menit lagi Profesor Jacobs pasti tiba di kelas. Kau kemana saja, Casper? Selalu saja terlambat." gerutunya.
"Aku kesiangan lagi."
Mereka tiba di kelas. Hanya tersisa lima bangku kosong di belakang. Begitulah yang terjadi jika sedikit saja terlambat masuk kelas, apalagi benar-benar terlambat. Tak lama Professor Samuel Jacobs-mereka biasa memanggilnya Profesor Jac-masuk sembari membawa tablet miliknya.
"Aktifkan bluetooth laptop kalian masing-masing. Kita akan mengadakan kuis selama lima belas menit."
Semua murid sudah bersiap, berbeda dengan Casper. Ya, Casper Keynes. Ia malah sibuk dengan sistem komputer di mejanya. Karena jarang dipakai, pengaturannya harus diulang.
"Leila. Ssttt. Leila. Bantu aku sebentar." bisiknya.
"Apalagi? Kenapa komputer di mejamu?"
"Tanggal berapa sekarang?" Casper mengutak-ngatik pengaturan yang malah semakin kacau.
"Tiga belas, bulan Desember."
"Tahun berapa?"
"Astaga! Kau juga lupa tahun? Tahun 2071." Leila merapikan posisi duduknya.
Professor Jac kembali setelah beberapa detik meninggalkan kelas. Ia lalu mengirim data berupa lima buah soal essay. Mungkin memang hanya lima soal, tapi di setiap satu soal perlu ada penjelasan dan contoh, atau bahkan penjelasan yang beranak. Inilah yang disebut penderitaan.
Lima belas menit berlalu. Komputer secara otomatis mengunci semua tombol agar tidak ada yang bisa memperbaiki ataupun mengerjakan soal yang belum dikerjakan.
"Kuis sudah selesai. Sekarang kita ke laboraturium. Seperti yang pernah kita diskusikan sebelumnya," Profesor Jac membuka pintu labor, "Ini dia. Percobaan kita selanjutnya."
Pintu terbuka lebar. Ruangan labor yang terletak di sebelah kelas mereka, ukurannya hampir dua kali luas lapangan bola basket dan terlihat rapi. Ada lima buah peti mayat yang disusun dari ujung ke ujung. Mereka masuk ruangan satu persatu. Professor menyalakan proyektor. Terlihat asap sesekali keluar dari peti yang sedikit terbuka.
"Silahkan berdiri di samping peti. Setiap peti untuk satu kelompok, yaitu tiga orang."
"Apa ini mayat, Profesor?" tanya Keylh yang berada di samping peti terakhir. Pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan. Mereka diintruksikan untuk membukanya perlahan.
"Lihat intruksi di layar proyektor. Ini adalah mayat Cryonic. Mayat-mayat ini baru saja tiba tadi malam dari Amerika. Jadi untuk membuang cairan nitrogliserin dalam peti mereka perlu waktu yang sedikit lama. Sekarang tinggal 30% lagi. Kalian bisa menunggunya sambil membaca biodata mayat. Aku tinggal sebentar."
"Kau yakin dengan percobaan kita ini, Casper?" tanya Leila.
"Entahlah. Tapi, ini sedikit menyeramkan. Coba kita lihat biodata mayat ini." Casper menarik kertas di atas meja sebelah peti.
"Ini benar-benar keren!" seru Yola begitu melihat isinya. Tampak mayat yang masih utuh dengan kulit putih pucat terbaring kaku, masih ada sisa-sisa cairan nitrogliserin yang belum sepenuhnya keluar dari peti. Yola menyentuh kulitnya, dinginnya setara dengan es.
"Astaga! Dia terlihat seperti vampir dalam dongeng."
"Wajahnya mengerikan! Tapi sebenarnya ini lebih baik daripada dijadikan mumi."
"Dan," Leila tersenyum jahil, "Dia tampan. Sayang sekali jika harus dijadikan mumi atau dikremasi."
"Apa? Tampan? Ya tapi ketampanannya pasti masih kalah denganku, kan? Apalagi dia hanya berupa mayat."
"Jangan sombong, Casper."
"WHAT? Okay. Okay."
"Kalau dia masih hidup, mungkin umurnya sekitar 74 tahun. Ia meninggal karena penyempitan pembuluh darah setelah selesai berolahraga pada usia 24 tahun." Yola mengabaikan perdebatan mereka.
"Oh, ya. Siapa nama mayat ini?" Leila memencet hidung sang mayat yang mancung, masih tetap kaku.
"Namanya," Yola membalik kertas ke lembaran pertama, "Greyson Michael Chance."
_______________________________________
Yo, ini baru prolog. Gimana? Jelek ya? Huehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cryonic
Science Fiction"Kalau dia masih hidup, mungkin umurnya sekitar 74 tahun. Dia meninggal karena penyempitan pembuluh darah setelah selesai berolahraga saat berumur 24 tahun." "Oh ya, siapa nama mayat ini?" "Namanya," Yola membalikkan kertas ke lembaran pertama...