Ruangan dengan luas 30×15 meter itu masih sama seperti terakhir kali aku kemari, atau kuharap begitu adanya. Tapi disinilah aku, kembali menelusuri jalan sempit diantara puluhan rak dengan ratusan buku yang tampak usang. Sudut-sudut ruangannya berdebu, dihuni sekelompok laba-laba yang mendirikan rumahnya disana, celana kremku menabrak jaring halus mereka. Huh, semoga mereka tidak marah atau semacamnya.
Tapi omong-omong soal tempat ini, aku kecewa. Selain ruangan yang dipenuhi buku, aku suka berlama-lama mencuci tangan di wastafel, memperhatikan bagaimana air itu menyembur dari sela-sela mulut keran dan buihnya yang memenuhi tanganku. Aku suka tentang bagaimana bersih dan terawatnya wastafel, cermin, bahkan kamar mandi disebelahnya. Tapi kini, semua itu hilang. Digantikan dengan tuas kran yang macet, marmernya yang kusam tak terawat dan bocor.
Aku kecewa tentang bagaimana ruangan ini tidak memberiku pelukan hangat seperti yang seharusnya. Mereka bahkan mengubah tata letak pintu masuk, membuatku seperti orang linglung saat dengan percaya dirinya mendorong pintu yang sudah kuhafal mati dan berakhir dengan hasil nihil. Terkunci permanen. Udaranya berganti, tak sedingin dan semenenangkan dahulu, membuatku terpaksa duduk di depan satu-satunya air cooler yang ada disini. Salah satu usaha putus asa untuk mengais suasana yang terekam jelas di otakku. Majalah Gadis favoritku juga tak nampak lagi. Huh.
Buku-buku masih berderet persis seperti yang tergambar di ingatanku, yang berarti tak ada buku baru. Kuulangi, tak ada buku baru. Lagi-lagi, rasa kecewa membuat pundakku semakin turun. Mereka masih sama seperti terakhir kali aku kesini.
Oh, dan satu lagi. Jendela. Enam jendela besar dengan rimbun hijau dari pepohonan diluar--my another favorite place to escape. Kurasa, mereka adalah satu-satunya hal yang tetap sama, meskipun debu yang menempel di permukaan kaca membuatnya nampak buram. Aku rindu menikmati tetes demi tetes air hujan yang mengalir melalui kulut luarnya yang mulus, menciptakan aliran kecil air, mengingatkanku pada sungai yang seringkali mengisi kedua pipiku akhir-akhir ini.
Tuhan, aku rindu hujan. Aku rindu terjebak disini saat badai sedang mengamuk diluar sana dengan seragam biru putihku yang mulai kusut karena terlalu lama duduk. Aku rindu membuka lembar demi lembar satu buku yang kupilih secara acak dari rak-rak tinggi itu, menemukannya menarik hingga memaksa menghabiskan keseluruhan dari mereka hari itu juga. Aku rindu bolos les malam dan berakhir disini, menelusurkan jari-jariku ke punggung buku, duduk satu-dua jam hingga jam lesku berakhir dan aku harus pulang. Aku rindu masa itu, masa dimana aku belum menyuntikkan rasa penyesalan terlalu sering pada kulitku, menjadikan kulitku memar keunguan--menyatu dengan darahku.
Perpustakaan, 15 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAPPED
RandomManusia punya seribu cara untuk melarikan diri dari rasa sesak akibat terjebak. Bagiku, menulis adalah jalan kabur paling bijaksana. Saat kamu membaca tulisanku, di tempat dan waktu yang lain, aku sedang kacau. Entah karena sedih, kecewa, terluka, a...