Delapan

290 17 0
                                    

Pada malam pertama pernikahan kami, Arsen pernah bilang kalau dia tidak ingin dulu mempunyai seorang anak. Dia bilang, dia menginginkan anak ketika umur pernikahan kami sudah dua tahun.

"Biar kita bisa berduaan dulu," katanya ketika aku bertanya kenapa.

Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Arsen tidak siap. Dia takut tidak bisa menjadi ayah yang baik karena traumanya terhadap papanya.

Aku menyetujuinya. Tapi, aku tidak pernah benar-benar setuju. Ketika kami berhubungan, Arsen tidak pernah memakai kondom. Mungkin, dia menyangka aku meminum pil KB atau apa, tapi aku tidak mau. Karena di sisi lain, aku menginginkan seorang anak.

Karena itu aku membeli beberapa test pack kemarin. Bukan berarti aku memiliki tanda-tanda aku hamil, tapi aku hanya berharap, ini bisa menjadi salah-satu do'a untuk keinginanku. Lapgipula aku percaya Arsen tidak akan menolak jika aku hamil sebelum umur pernikahan kami dua tahun.

"Mas? Gimana kalau aku hamil?" tanyaku ketika kami sudah berada di tempat tidur. Aku tidur dalam rangkulan Arsen. Untuk sesaat, aku merasakan usapan Arsen dikepalaku terhenti. Dan aku kecewa. Entah kenapa aku tahu kalau itu berarti bahwa dia tidak menginginkan itu. dan jawabannya benar-benar menohokku.

"Kamu gak minum pil KB?"

Aku menggigit bibir bawahku dan menggeleng pelan. Arsen menghela napas dan membawaku agar menatapnya. Sesaat, aku melihat kilatan kesal di sana.

"Kenapa, Le? Saya 'kan udah bilang kalau kita harus nunggu dua tahun dulu, dan saya gak mau pake kondom."

Aku mendorong Arsen dan menatapnya kesal. Oh really? Kenapa dia bisa semena-mena seperti itu.

"Mas gak mau pake, dan aku juga gak mau minum. Lagian kenapa, si, Mas, kalo aku hamil?"

Matanya menggelap. "Kamu hamil?"

Aku memutar kedua bola mataku, "Aku bilang 'kan 'kalo'," jawabku ketus.

Arsen menghela napas dan menatapku lembut.

"Kita udah pernah bicarain ini. Ingat?"

Aku mendengus. "Mas inget waktu itu Mas bilang apa? Mas bilang supaya kita bisa berduaan dulu. Tapi nyatanya? Mas malah lembur tiap hari. Apa itu yang di sebut berduaan?!"

"Lea." Arsen mengusap wajahku yang langsung ku tepis. Entah kenapa aku benar-benar kesal dengan Arsen. Mungkin karena efek dari tamu bulananku yang membuatku jadi labil seperti ini.

"Saya bukan gak mau punya anak atau apa. Tapi kamu tahu saya sibuk sekali akhir-akhir ini. Saya baru diangkat menjadi GM dan kamu tahu bagaimana sibuknya. Saya takut saya gak bisa jaga kamu."

Aku mendengus. "Alesan aja terus, Mas. Udahlah, aku capek, mau tidur. Mas juga capek, kan?" ucapku kesal dan berbalik memunggunginya.

Aku berusaha memejamkan mataku yang tidak membuahkan hasil, dan aku malah bergerak-gerak tidak nyaman. Aku merasakan pergerakan di sampingku. Kupikir, Arsen hendak meninggalkan kamar kami, tapi ternyata, dia mendekatkan tubuhnya padaku dan memelukku dari belakang. Dia mencium puncak kepalaku kemudian mencium leherku lembut.

"Maaf," gumamnya.

Aku menghela napas, tidak membalas ucapan Arsen. Aku berusaha lagi memejamkan mata dan membuat diriku tertidur. Entah karena mataku sudah bisa diajak kompromi atau karena pelukan hangat Arsen dan napasnya yang menggelitik leherku, aku tertidur. Aku mendengar sesuatu sebelum aku benar-benar tertidur.

"Saya takut, Lea."

Aku tidak tahu apakah yang aku dengar itu nyata atau hanya pikiranku saja. Tapi kalau memang nyata, apakah ketakutan Arsen terhadap masa lalunya benar-benar sebesar itu?

***


The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang