Tiga Belas

283 15 0
                                    

Benar-benar mengejutkan!

Aku serius, ini benar-benar seperti bukan Arsen.

Jadi, jum'at lalu dia mengajakku untuk pergi dan menginap di suatu tempat. Dia bilang, kita melaksanakan bulan madu yang waktu itu sempat tertunda. Yah walaupun memang hanya dua hari. Arsen bilang, selama dua hari itu, dia berjanji bahwa dia akan fokus pada diriku dan melupakan pekerjaanya, begitupun sebaliknya. Memangnya apa yang akan kupikirkan? Aku bahkan tidak bekerja. Intinya, selama dua hari ini Arsen benar-benar akan menjadi milikku.

Dan Jumat malam, kami pergi. Arsen membawaku ke daerah puncak. Dia bilang dia menyewa vila teman sekantornya.

Kami sampai Sabtu pagi. Percayalah, aku benar-benar menyukai udara di sini. Lama tinggal di Ibu Kota benar-benar membuatku merasa bahwa udara di puncak ini serasa di surga. Pemandangannya pun indah sekali. Aku heran aku bisa bertahan hidup di Ibu Kota dua puluh tujuh tahun dengan udara yang penuh polusi seperti itu.

Arsen menuntunku ke dalam vila temannya. Hanya ada dua penjaga rumah di sini. Pak Sutirjo, pengurus vila, dan Bu Sarina, pembantu yang bertugas memasak untuk para tamu yang menginap.

Vila ini seperti mengarah pada gaya victoria dan memiliki halaman terbuka yang terawat. aku tahu, rumah victoria ini di desain dengan gaya gothic, terlihat dari lengkungan menunjuk ditetapkan pada jendela, yang meniru gereja-gereja gothic dan istana dalam periode abad pertengahan. Belum lagi rumah ini dihiasi dengan kesan mebel megah dan warna mewah. Dinding yang dihiasi dengan walpaper bunga menambah kesan klasik dan romantis. Jujur saja, walaupun memberikan kesan romantis, aku tidak merasakannya sama sekali. Vila ini seperti rumah hantu. Dan ngomong-ngomong, aku baru tahu kalau Arsen memiliki teman sekaya ini.

"Den Arsen, lama tidak kesini," sapa Pak Sutirjo. Arsen tersenyum kemudian mengenalkanku pada Pak Sutirjo.

"Saya tidak tahu Den Arsen sudah menikah. Saya pikir..."

Aku tahu Arsen menggeleng pelan. Apa yang ingin dikatakan Pak Sutirjo? Apakah ini tentang Na-- tidak. Aku tidak ingin memikirkan tentang Nada sekarang. Lagipula Arsen berjanji kalau dua hari ini dia tidak akan memikirkan apapun selain aku, kan? Dan Arsen bilang itu juga berlaku untukku.

"Kalau begitu, lebih baik Den Arsen dan Neng Lea istirahat dulu. Kalian pasti lelah. Sari sudah menyiapkan kamar kalian, dia juga telah menyiapkan sarapan untuk kalian di kamar. Nanti Sari akan membangunkan kalian jika makan siang sudah siap," jelas Pak Sutirjo.

Arsen mengangguk paham kemudian mengajakku ke kamar utama. Aku bilang begitu karena kamar ini sangat luas. Furnitur di dalamnya terdiri dari warna coklat tua begitupun tempat tidur yang terbuat dari mahoni dengan sentuhan tambahan kain mewah yang menutupi tempat tidur. Apa tempat ini tidak bisa lebih seram lagi.

"Harus vila ini, ya, Mas? Indah si, bagus juga. Tapi... apa gak sedikit... ehm... horor?" tanyaku.

Arsen terkekeh. Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini Arsen sering tertawa. Dia merangkul pundakku agar aku bisa lebih dekat dengannya dan mencium puncak kepalaku. "Sengaja. Biar kamu gak bisa jauh-jauh dari saya."

Jawaban Arsen sontak membuatku cemberut. Aku menyentakan tanganya dari pundaku dan memilih berjalan ke tempat tidur. "Aku mau istirahat dulu, Mas makan aja sendiri," ucapku ketus. Kekehan Arsen berubah menjadi tawa. Dia mengikutiku kemudian memelukku dari belakang dengan erat dan menghirup leherku dengan hidungnya.

Aku berontak dan berbalik menghadap Arsen. Dia sedang menatapku sayu. Aku menyentuh pipinya lembut kemudian tersenyum. "Mas, kan dari malem udah nyetir dan belum tidur. Mending sekarang kita makan terus Mas tidur."

Arsen tersenyum kemudian mengangguk. Kami makan di meja yang ada di tengah ruangan. Jujur saja, ini lebih terlihat seperti apartemen daripada satu kamar. Meja makan di kamar? Orang waras mana yang akan terus-terusan mengurung diri di kamar sedangkan di luar kamar pun masih banyak ruangan yang ada.

Aku hendak menyimpan piring kotor keluar ketika Arsen tiba-tiba saja memelukku dengan erat.

"Mas?"

"Biarkan saya membahagiakan kamu Lea. Tapi beri saya waktu untuk mengatakan semuanya. Kamu mau bertahan sampai hari itu tiba, Lea? Biarkan saya meyakinkan diri saya dulu," bisik Arsen lirih.

Aku tahu ada yang aneh dengan Arsen. Meyakinkan diri? Seberapa tidak percayanya dia padaku?

Tapi aku tidak mengatakan itu semua dan hanya membalas pelukan Arsen. Meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa bertahan sampai saat itu tiba.

***

Ini benar-benar menyenangkan. Arsen mengajakku berkeliling ke daerah sekitar vila. Menyusuri kebun teh, sungai, bahkan ada sedikit hutan. Dan aku bersenang-senang.

"Hati-hati, batu ini licin," peringat Arsen ketika kami sedang bermain di sungai. Airnya benar-benar jernih. Aku bahkan melihat ikan-ikan kecil. Rasanya aku sedang berada di negara yang berbeda. Aku harus memberitahu Arsen kalau dia harus sering-sering mengajakku kesini.

Aku menggenggam tangan Arsen dan dia membantuku naik ke batu yang cukup tinggi. Lalu kami berbaring di sana. Melihat langit yang benar-benar cerah. Aku berbantalkan lengan kiri Arsen dan tangan Arsen mengusap rambutku lembut. Sedangkan dia berbantalkan tangan kanannya.

Kami sama-sama terdiam. Bukan diam tidak nyaman, tapi sebaliknya. Aku benar-benar tidak ingin ini semua berakhir. Seandainya Arsen mau pindah ke tempat seperti ini, aku pasti akan bahagia sekali.

"Kamu senang?" tanya Arsen.

Aku mengalihkan kepalaku ke dada Arsen, tangan Arsen otomatis ikut berpindah. Tanganya masih tetap mengusap rambutku. Sekali-kali aku merasakan Arsen mencium puncak kepalaku.

"Banget. Seandainya kita bisa lebih lama lagi," jawabku. Aku mendongak menatap Arsen. Arsen tersenyum kemudian mencium bibirku lembut.

"Kita bisa sering-sering kesini. Kalau kamu, kita bisa buat vila juga di daerah sini."

Aku terbelalak. Apa Arsen serius. Aku segera duduk dan menatap Arsen tidak percaya.

Arsen tertawa kemudian ikut duduk dan kembali membawaku ke pelukannya. "Saya, kan, sudah bilang, saya akan melakukan apapun untuk membuat kamu bahagia," Arsen melepaskan pelukannya dan mengelus pipiku lembut. Mata tajamnya menatapku lembut, "saya sadar Lea, saya tidak ingin kehilangan kamu lagi. Seminggu kamu ninggalin saya saja, saya tidak yakin bisa bertahan. Jangan tinggalin saya Lea, tetaplah berada di sisi saya."

Aku tersenyum. Memeluk leher Arsen erat dan membenamkan wajahku di tengkuknya. Aku merasakan Arsen mencium pundakku dan menghirup leherku.

"Aku pernah bilang ke, Mas, kan? Aku gak bakal ninggalin Mas kalau bukan Mas yang minta."

Arsen mengeratkan pelukannya seakan-akan aku akan pergi. Mungkin, kalau bukan dalam suasana serius seperti ini, aku akan menyuruh Arsen melonggarkan pelukannya. Dia bisa saja membunuhku kalau begini.

"Saya gak akan pernah minta kamu pergi, Lea. Kamu hidup saya, dan saya yakin itu," ucapnya. Dia melepaskan pelukannya dan menciumku kasar. Ada rasa frustasi di ciuman itu. Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku tidak bertanya dan membalas ciumanya.

"Mas...." rintihku pelan. Kita harus berhenti. Ini tempat umum dan aku akan kehabisan napas kalau Arsen tidak segera melepaskan ciumanya.

"Saya ingin anak Lea," lirih Arsen.

Aku terbelalak. Arsen bilang apa? Bukankah dia ingin menunggu sampai dua tahun baru punya anak. Aku berusaha melepaskan pelukan dan ciuman Arsen untuk menatapnya. Tapi dia tidak mengizinkanku dan semakin gencar menciumku. Sekarang tangannya bahkan sudah menjelajahi tubuhku.

"Mas..."

"Tidak sekarang, Lea."

Dia sudah membaringkan tubuhku dan mulai menjelajahi tubuhku dengan mulutnya. Aku bahkan tidak sadar ketika aku sudah kehilangan kaosku. Untung saja sungai ini ada di tengah hutan dan kebun teh. Tapi tetap saja akan sangat memalukan kalau ada yang melihat perbuatan tidak senonoh yang kami lakukan di tempat umum seperti ini.

"I love you, Lea. I really am," bisiknya hampir di setiap jengkal tubuhku.

Aku tidak pernah melihat Arsen seperti ini. Dia terasa terburu dan entah apa lagi. Tapi kupikir, saatnya aku tidak memikirkan apapun sekarang. Dan aku berharap, Arsen memang menginginkan seorang anak murni karena keinginannya, bukan karena ada sesuatu yang mengganggunya.

***


The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang