Empat

329 21 2
                                    

Hari ke-15 pernikahanku tapi aku tahu ada yang salah. Aku tahu harusnya aku tidak perlu terlalu banyak berpikir. Arsen workaholic dan aku harusnya tidak heran ketika dia memutuskan untuk lembur ketika masa cuti yang sebenarnya sudah berakhir. Ayolah, ini baru hari ke-15 dan sifat aslinya sudah benar-benar muncul. Aku sempat berpikir, apa Arsen menyesal menikahiku dan dia baru sadar sekarang kalau menikah denganku adalah kerugian terbesar. Jadi, aku memutuskan bertanya padanya.

"Kamu ini bicara apa?" tanyanya heran.

Aku menatap Arsen yang tidak mengalihkan pandangannya dari--entah apa yang sedang dikerjakannya. "Tapi udah dua hari ini kamu lembur, Mas. Kamu juga rada-rada aneh sekarang."

"Aneh gimana, Yang?"

"Ya aneh, Mas. Kayak-kayaknya Mas tambah dingin aja gitu ama aku."

Aku melihat Arsen menghentikan pekerjaannya dan menatapku dengan tatapan lelah. "Jangan sekarang, Leana."

Aku tahu kalau Arsen sudah menyebut namaku dengan utuh, dia benar-benar sedang tidak ingin membahasnya. "Ok."

Arsen tersenyum kemudian membawaku ke dalam rangkulannya, "Kamu kenal saya, Lea. Saya merasa aneh kalau saya tidak kerja; lagipula, tanggung jawab saya berat, Lea. Saya harap kamu mengerti."

"I do." Tapi bukan berarti lembur juga, kan, Mas. Sayangnya, aku tahu kalau Arsen sedang lelah dan dia tidak ingin ada seorangpun yang mendebatnya.

"Mas?"

"Hmm?"

"Mas mau janji satu hal, kan?"

Arsen melepaskan pelukannya dan menatapku heran. "Apa?"

"Just tell me everything that you feel, ya, Mas."

Aku tidak tahu kalau permintaanku terlalu berat untuknya. Maksudku, dia tidak mengangguk atau menggeleng, atau mengatakan 'ya' atau 'tidak', dia hanya mentapku kosong kemudian memelukku lagi.

Ini masih hari ke-15 pernikahan kami tapi, sepertinya, aku tahu masalah apa yang akan kuhadapi. Aku hanya menghela napas kemudian melepaskan pelukannya.

"Tidur, yuk, Mas. Udah malem," ajakku. Aku tidak menunggu jawaban Arsen dan memilih untuk meninggalkannya saja. Dia butuh berpikir, begitu pula aku.

Dan, apa yang ku khawatirkan benar-benar terjadi. Malam ini.

Aku mendapati Arsen pulang ke rumah jam 9 malam. Lebih awal dari biasanya. Wajahnya benar-benar terlihat kecewa. Langkahnya terlihat gontai. Masalah apapun yang sedang dihadapinya sekarang benar-benar membuatnya tertekan.

Aku menghampirinya dan mengambil tas kerjanya. "Mas baik-baik aja?" tanyaku. Dia hanya mengangguk dan melewatiku begitu saja.

"Mas mau makan dulu atau mandi dulu? Biar aku siapin."

"Mandi."

Aku mengangguk dan segera berlari ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuknya. Arsen tidak pernah kuat jika dia harus mandi air dingin malam hari.

Aku merasakan Arsen memelukku dari belakang dan membenamkan wajahnya di leherku. Aku mengusap lengannya, berharap usahaku membuatnya lebih baik.

"Ada apa, Mas? Semuanya baik-baik aja? Masalah kantor?"

Dia tidak menjawab dan lebih mengeratkan pelukannya. "Mas?"

"Jangan sekarang, Lea. Just let me hug you like this."

Aku menghela napas kemudian memejamkan mataku. "Mas tahu kan, kalau bisa cerita apa aja ama aku?"

Arsen menggeram. "Lea."

"Berbagi ama aku, Ms. Mungkin aku bisa bantu," bujukku lagi.

Arsen melepaskan pelukannya dengan kasar. "Saya mau mandi. Lebih baik kamu siapin makan malam." Aku menatap Arsen tidak percaya kemudian meninggalkanya sendiri.

Arsen butuh sendiri, dan seharusnya aku tidak terlalu menekannya. Tapi memangnya siapa yang tidak akan kecewa ketika suami sendiri tidak membiarkan istrinya masuk sepenuhnya? Aku istri Arsen dan Arsen tetap membuatku menjadi orang luar yang tidak diizinkan masuk.

Butuh lima belas menit untuk menyiapkan makan malam untuk Arsen dan butuh dua puluh menit ketika dia datang ke ruang makan. Tidak ada yang dia katakan.

"Mas beneran gak mau cerita?" tanyaku ketika dia sudah menyelesaikan makannya.

"Ini urusan saya, Lea. Kamu tidak perlu tahu."

Apa dia bilang? Bukan urusannya? Aku isitrinya, for god's sake!

"Kita ini suami-istri, Mas. Kita harusnya saling berbagi. Bagaimanapun juga--"

Arsen berdiri dari duduknya. Gerakan tiba-tiba itu benar-benar membuatku terkejut. Dia menatapku dengan tajam. "Kamu cukup melayani saya, Lea. Kamu tidak perlu ikut campur dengan masalah yang ada di luar rumah," dia berbalik hendak pergi ke kamar kami. "Sekarang, lebih baik kamu siapin diri kamu," ucapnya dingin kemudian benar-benar meninggalkanku sendiri.

Aku mematung. Tidak pernah menyanka Arsen akan mengatakan hal sekejam itu.

Kamu cukup melayani saya, Lea. Kamu tidak perlu ikut campur dengan masalah yang ada di luar rumah.

Lebih baik kamu siapin diri kamu.

Sebenarnya, aku ini istri kamu atau budak sex kamu, Arsen?

***


The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang