Enam

291 17 0
                                    

Bunda menyuruhku untuk mengunjunginya. Bunda bilang, dia merindukanku dan sangat tidak sopan sekali karena aku tidak pernah mengunjunginya lagi setelah menikah. Padahal belum genap satu bulan aku menikah dengan Arsen dan bunda sudah bawel sekali.

Aku menuruti keinginan bunda dan memutuskan untuk menginap di sana beberapa hari karena Arsen juga ada urusan keluar kota. Sebelum aku ke pergi ke rumah orangtuaku, aku memutuskan untuk ke Caffe D'lacour, caffe langgananku dan biasanya menjadi tempat aku nongkrong, untuk menemui kedua sahabatku; Ria dan Tia.

"Sombong banget, si, lo! Mentang-mentang pengantin baru." Sindiran Tia menyambutku ketika aku menghampiri mereka di pojok cafe yang memang menjadi spot favorit kami. Aku tersenyum cerah dan memeluk mereka satu-satu.

"Jadi istri Arsen berarti lo harus sepakat buat gak terlalu sering keluar rumah. Beresin rumah, belajar masak, dan isi taman belakang," jawabku, "lagian lo yang sombong, Ya. Lo gak mau mengunjungi gue padahal Ria sering banget ke rumah."

"Dan ikut kotor-kotoran kayak anak kecil? Sorry to say, deh, Le. Gue gak sanggup kalo tangan indah gue musti rusak gara-gara nanem tanaman." Ucapan Tia sontak membuat Ria menoyor kepalanya. Aku sudah pernah bilang kalau Ria punya kefanatikan pada tanaman, kan?

"Lo kira lo bisa hirup udara segar ini karena apa? Songong, lo!" ucap Ria kesal. Aku terkekeh geli melihat kelakuan mereka berdua. Hal yang langka melihat Ria kehilangan kontrol. Biasanya, akulah yang sering adu mulut dengan Tia. Tia ini memang punya kecenderungan membuat orang lain emosi.

"So, lupain tanaman-tanaman tercinta lo, Ri. Mending sekarang kita fokus ke bintang kita kali ini. Si pengantin baru yang sombongnya gak ketulungan."

Aku mendengus mendengar sindiran Tia. "Gue udah jelasin ke lo, ya, kenapa gue susah keluar rumah."

Aku meraih dark chocolate yang aku yakin sudah sengaja mereka pesankan. Hanya aku satu-satunya penggila dark chocolate di sini. Jadi tidak mungkin kalo minuman ini milik Ria atau Tia.

"Asal lo tahu, ya, Le. Pendapat gue tentang Arsen itu gak berubah," mulai Tia. Aku hanya memutar kedua bola mataku jengah. Tia tidak pernah menyukai Arsen. Aku tidak tahu kenapa, tapi Tia bilang Arsen tipe lelaki yang egois dan ingin menang sendiri.

"Dia udah jadi laki gue, Ya. Jadi percuma aja lo ngutarain pendapat lo."

"Jujur aja, ya, gue gak pernah ngerti kenapa lo milih Arsen. Percaya deh, gue yakin dia ada hubungan ama sahabatnya itu. Siapa, sih, namanya? Naya? Nadine?"

"Nada."

"Nah, itu!"

Aku mendengar Ria mendengus. "Kenapa, lo?" tanya Tia heran.

"FYI aja, ya, Ya. Ini pilihan Lea dan lo gak usah ikut campur," ucap Ria ketus. "Lagian, nyatanya Arsen milih Lea dan bukan si Nada. Walaupun jujur aja, gue juga gak suka ama Arsen. Rasa-rasanya gue pengen nonjok mukanya, gak tahu kenapa."

"Nah! Sama, Ri! Apalagi kalo Arsen udah jemput Lea kalau lagi ngumpul bareng kita. Mukanya asem banget!"

Ria mengangguk antusias. "Puncak gue kesel ama dia itu, waktu dia lebih milih nemenin Nada ke acara-entah apa- daripada jagain Lea yang lagi sakit."

"Eargh!! gue inget banget itu! Kurang asem emang si Arsen sumpah, ya! Gue gak bisa bayangin kehidupan rumah tangga lo, Le!"

Aku terbelalak mendengar ucapan Ria. Pasalnya, selama ini Ria tidak pernah menunjukan ketidaksukaannya pada Arsen. Ria selalu terkontrol akan semua hal yang dia rasakan.

Aku berdehem. "Actually, cowok yang lagi kalian jelek-jelekin itu laki gue, ya," potongku.

Sayangnya, mereka tetap saja menjelek-jelekkan Arsen seakan-akan aku tidak ada di sana. Arsen kakulah, nyebelinnya, inilah, itulah, dan entah apalagi yang mereka katakan. Kepalaku benar-benar ingin meledak sekarang. Aku berharap, aku bisa menenangkan diriku saat aku di rumah bunda.

Sayangnya, bunda dan kedua sahabatku tidak ada bedanya. Membuatku pusing.

"Bilang ama Arsen, dong, Le. Masa ngunjungin orangtua sendiri gak boleh?" gerutu bunda ketika aku baru saja mendudukkan diriku di sofa ruang keluarga. Aku memijat pelipisku. Ada apa dengan hari ini? Apakah hari ini adalah Hari Menjelekkan Arsen?

"Arsen gak pernah larang, Bun. Akhir-akhir ini aku kan sibuk belajar masak dari Mama dan isi kebunku," jawabku lesu.

"Halah, alesan aja kamu itu buat bela Arsen! Pokoknya kamu harus sering-sering ke sini. Seminggu sekali!"

Aku menatap bunda tak percaya. "Bunda ini apa-apaan, sih? Aku ini udah jadi wanita bersuami, mana ada aku mengunjungi bunda seminggu sekali. Kasian Arsen kalau harus ke sini tiap minggu padahal dia lagi butuh istirahat pas weekend."

Bunda mendengus. "Pokoknya kamu harus sering-sering kesini. Bunda gak mau tahu!" Keputusan bunda sudah final. Beliau bahkan tidak mau bersusah payah untuk mendengar jawabanku.

Aku menatap ayah yang dari tadi asyik membaca koran. Perlu aku tegaskan, ayah tidak sedang benar-benar membaca koran itu. Ayah membalas tatapanku kemudian menghampiriku dan duduk di sampingku.

"Kamu tahu kalau bunda itu manjanya gak ketulungan. Jadi iya-in aja. Nanti juga bakal ngerti sendiri," saran ayah, "lagian kalo kamu lupa, Arsen itu laki-laki idaman bunda kamu."

Aku menghela napas lelah dan menyandarkan kepalaku di bahu ayah. Ayah memang benar, bunda sangat menyukai Arsen. Menurutnya, Arsen adalah laki-laki yang sangat berpotensial. Tidak ada yang kurang dari Arsen. Bunda tidak perlu khawatir aku akan makan apa selama Arsen yang menjadi suamiku. Sayangnya, bunda adalah wanita paling moody yang pernah aku kenal. Sebentar-sebentar bahagia, sebentar-sebentar marah. Menghadapi bunda benar-benar membutuhkan kekuatan ekstra.

Lihat saja ketika nanti Arsen menjemputku, pasti kekesalannya pada Arsen akan hilang secepat kilat.

***

The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang