Dua

493 24 2
                                    

Aku tidak pernah tahu kalau Arsen sudah menyiapkan rumah untuk kami berdua. Tapi bukan itu yang ingin aku tekankan. Dia membuat rumah impianku. Kau tahu? Rumah impianku. Aku tidak pernah tahu kalau dia bisa melakukan hal manis seperti ini. Arsen selalu tertutup dengan rencana masa depannya. Sebelum menikah denganku, tentu saja. Lagipula aku sudah pernah bilang padanya, jika dia memang benar-benar menginginkanku untuk menjadi istrinya, dia harus membawaku ikut serta dalam rencana-rencananya. Karena itu, 4 hari kami tinggal di rumah mertuaku, dia mengatakan semua rencana jangka panjang. Termasuk kapan kami harus memiliki anak. Tapi, selama 4 hari itu, dia tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang rumah.

Rumah ini tidak besar. Hanya terdiri dari dua lantai dengan tiga kamar; satu di bawah, untuk kamar tamu dan dua kamar lainnya ada di atas. Arsen bilang, kalau nanti kami punya dua anak, dan memang itu rencananya, kamar utama akan pindah ke kamar tamu. Dan yang terpenting adalah, rumah ini memiliki perpustakaan pribadi. Ruang kerja Arsen yang merangkap dengan perpustakaan pribadi, sebenarnya. Dan aku tidak tahu kapan Arsen memindahkan semua buku pribadiku dari rumahku. Waktu aku bertanya kenapa dia menyatukan perpustakaan pribadiku dengan ruang kerjanya, dia hanya mengangkat sebelah alisnya dan berkata dengan lempengnya, "Biar gak banyak ruangan." Kau tahu? Jangan bayangkan dia mengatakan hal manis seperti 'supaya kita selalu berduaan' atau apa. Dia tidak akan mengatakan hal seperti itu. Selain itu, di belakang rumah ada kebun kosong. Arsen bilang, aku harus mulai belajar bercocok tanam. Dan akan lebih bagus kalau aku belajar pada Ria, sahabatku. Dia punya kefanatikan terhadap tanaman apapun.

"Lagipula kamu gak kerja. Jadi aku sengaja buatin lahan kosong buat mainan kamu," ucapnya ketika aku bertanya untuk apa kebun di belakang rumah. Aku hanya bisa meringis. "Jangan lupa belajar masak juga," tambahnya.

Oh, apakah aku sudah pernah bilang kalau aku dan dapur benar-benar tidak bersahabat? Selama dua puluh tujuh tahun hidupku, hanya empat makanan yang dapat kubuat tanpa mengacaukan dapur. Masak air, masak nasi, masak mie, dan nasi goreng. Percayalah, perlu bertahun-tahun agar aku bisa membuat empat hal itu menjadi sempurna.

"Hari ini makan nasi goreng dulu, ya, Mas. Aku kan belum belajar," ucapku ketika kami sudah mengelilingi rumah baru kami. Dia tersenyum dan mengusap kepalaku lembut. Ya ampun, ingatkan aku untuk memeriksakan jantungku setelah ini. Aku yakin, ada yang salah dengan jantungku.

Aku segera berlari ke dapur dan menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Sebenarnya, kalau boleh jujur, hal yang ingin aku lakukan sekarang adalah tiduran dan santai-santai. Tapi mengingat sekarang hidupku bukan hanya untuk diriku seorang, aku harus mengenyampingkan keinginanku itu.

Tiba-tiba saja aku merasakan Arsen memelukku dari belakang dan mencium kepalaku. Eargh... bagaimana aku bisa memasak tanpa melakukan kesalahan kalau aku berada dalam fase gugup seperti ini. Pelukannya makin mengerat dan ciumannya menjalar ke leherku.

"Mas... aku kan mau masak," ucapku jengkel, berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Lagipula sejak kapan dia menyukai skinship seperti itu.

Dan aku mendengus ketika dia terkekeh geli. Menyebalkan. Bisa-bissanya dia menggodaku seperti itu. "Delivery aja. Kayak yang saya gak tahu kamu males, aja," ucapnya di sela-sela kekehanya.

Aku segera berbalik dan menatapnya sengit. "Kenapa gak bilang dari tadi?" tanyaku kesal. Dia hanya mengedikkan bahu kemudian menarikku ke kamar tamu.

"Kok kesini, si, Mas? Gak jadi makan?" tanyaku heran.

"Main dulu aja."

Asdfgh@#$%^&*()!!


The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang