Dua Puluh Lima

359 14 0
                                    

Lea mengamuk.

Semua barang yang bisa dicapainya di banting satu-persatu. Butuh dua suster untuk mencekal tubuh Lea agar bisa diberikan obat penenang. Sayangnya, obat penenang itu hanya mampu membuat Lea tertidur, dan kemarahanya tetap berada di sana.

Arsen mengelus kening Lea yang berkerut. Ada bekas air mata di pipinya. Lea bahkan masih menangis dalam tidurnya.

"Maafkan saya, Lea. Maafkan saya." Entah sudah berapa ratu kali Arsen mengucapkan kata-kata itu. Dia sudah seperti robot rusak yang hanya bisa mengucapkan tiga kata itu.

Arsen tersentak ketika merasakan tanga Lea bergerak. Mata itu perlahan membuka, dan airmata langsung keluar dari kedua mata Lea.

"Sayang...."

"Aku pengen ketemu anak aku." Suara Lea terdengar dingin di telinganya. Sura itu tidak memiliki nyawa.

"Saya akan panggilkan suster untuk bawa anak kita," ucap Arsen.

Tidak ada jawaban dari Lea. Arsen menghela napas panjang dan berjalan keluar untuk memanggil suster jaga agar membawa anaknya. Pihak rumah sakit dan Arsen sendiri memang sengaja tidak menguburkan dulu anaknya sampai Lea terbangun.

Suster menyerahkan anak mereka pada lea. Lea menerimanya dengan tangan gemetar. Wanita itu menatap bayinya penuh sayang dan mencium keningnya lembut. Air matanya membasahi wajah bayi itu.

"Mama sayang kamu, kamu anak yang tampan. Maaf karena kamu gak bisa lihat dunia ini. Mama berharap kita bisa ketemu di surga nanti, sayang," lirih Lea. Tubuhnya bergetar karena menangis.

Arsen mengepal tangannya erat, dia tidak bisa melihat Lea yang terpuruk seperti ini. Laki-laki itu mendekati Lea dan memeluknya erat. "Maaf Lea, maafkan saya," lirihnya.

"Aku pengen denger anak kita nangis, Mas. Kenapa harus kita? Kenapa harus anak aku? Kenapa?" rintih Lea.

Arsen semakin mengeratkan pelukannya dan mencium puncak Lea berkali-kali. "Maaf, maaf karena saya gak bisa jaga anak kita. Maaf."

***

Sudah tiga hari ini Lea tidak ingin melihat Arsen. Wanita itu selalu histeris ketika melihat laki-laki itu. Karena itulah, ketika Lea sudah diperbolehkan pulang, Arsen memutuskan untuk menyerahkan Lea pada orangtuanya dulu.

"Lea hanya butuh waktu, sayang. Bunda harap kamu yang tabah, ya," ucap Bunda lembut ketika mereka sudah berada di depan rumah orangtua Lea. Lea sudah dibawa kedalam oleh ayah dan mama.

Arsen tersenyum. "Ia, Bun. Titip Lea ya, Bunda. Saya bakalan kesini tiap hari, kok."

Bunda menatap Arsen sendu kemudian memeluk Arsen erat. "Kamu tahu kalau pintu rumah ini terbuka buat kamu Arsen. Kamu anak Bunda dan selamanya akan jadi anak Bunda. Kamu tahu itu, kan?"

Arsen tidak mengatakan apapun untuk membalas perkataan bunda. Dia hanya mengangguk lemah.

Bunda mengusap kepala Arsen lembut. "Kamu masuk dulu, ya? Bunda siapin makanan buat kamu," tawar bunda.

Arsen menggeleng. "Nanti malam saya kesini lagi, Bun. Sekarang saya mau anterin dulu mama pulang," tolaknya halus.

Bunda tersenyum. "Bunda bakalan jagain Lea buat kamu, sayang."

"Makasih bunda. Saya pergi dulu, mama udah keluar," pamit Arsen yang diberi anggukan oleh Bunda.

Malamnya, Arsen datang lagi dan Bunda mengatakan bahwa Lea sedang berada di teras belakang. Bunda bilang, Lea tidak makan dari tadi dan hanya melamun. Wanita itu bahkan sesekali menangis.

Arsen tersenyum menenangkan ketika bunda terlihat khawatir. Arsen membawa bubur ke teras rumah dan menghampiri Lea. Arsen bersyukur ketika Lea tidak mengamuk ketika Arsen berjongkok di depanya. Tidak ada yang mereka katakan. Arsen menyuapi Lea dalam diam. Dan Arsen bersyukur untuk kedua kalinya karena Lea tidak menolak ketika Arsen menyuapinya.

"Dia mirip kamu, Mas," lirih Lea ketika Arsen sudah menyimpan buburnya di meja bundar di samping kursi Lea.

Arsen tersenyum dan menangkupkan tangannya di tangan Lea yang berada di pipinya.

"Hidungnya, bibirnya, itu punya kamu, Mas," ucapnya.

Tiba-tiba saja Lea berjengit dan menjauhkan tanganya dari Arsen. Tubuhnya kembali bergetar. Matanya tak fokus.

"Lea?" panggil Arsen khawatir.

"Pergi," desis Lea.

Arsen mencoba untuk mendekati Lea ketika wanita itu berteriak kencang. "Pergi! Aku bilang pergi!" teriak Lea.

"Kenapa sayang? Kamu kenapa?" tanya Arsen bingung.

"Kamu seneng, kan, Mas? Kamu seneng karena anak kita gak ada," tuduh Lea.

"Lea, sayang, kamu ini ngomong apa? Mana mungkin say--"

"Bohong! Kamu seneng Arsen! Kamu yang bilang kamu gak mau punya anak dulu! Kamu yang bilang kalau kita harus nunda dulu dua tahun, dan sekarang lihat, semuanya berjalan sesuai keinginan kamu!"

Bohong kalau Arsen bilang dia tidak sakit hati ketika Lea mengatakan itu. Ayah macam apa dia ketika dia bahagia anaknya meninggal. Arsen menghela napas panjang dan kembali berjongkok di depan Lea. Lea tidak menghindar ketika Arsen menggenggam tangan Lea erat. Air mata Lea membasahi tangan mereka.

"Apa saya seburuk itu di mata kamu, sayang? Kamu tahu kalau saya bahagia waktu kamu mengandung. Kamu tahu kalau saya selalu mengharapkan bayi kita segera lahir, dan saya--" suara Arsen tercekat ketika dia harus mengatakan ini, "dan saya tahu saya salah karena gak bisa selamatkan anak kita. Tapi kamu salah kalau kamu berpikir saya senang. Dari semua hal buruk yang telah menimpa saya, ini adalah hal terburuk, Lea. Dan saya butuh kamu. Saya butuh kamu untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja."

"Tapi semua gak baik-baik aja, Arsen. Gak akan pernah baik-baik aja," lirih Lea.

Arsen menghapus air mata Lea lembut. "Tapi semua akan mudah kalau kita hadapi semuanya sama-sama, Lea," yakin Arsen.

"Aku gak bisa, Arsen. Aku gak bisa terus liat kamu. Kamu punya muka dia. Ini semua tentang aku, Arsen. Aku yang gak bisa jaga dia, aku yang...."

"Lea, hey, ini bukan salah kamu, ok? Kita bisa--"

"Ceraikan aku, Arsen. Aku tahu, itu yang terbaik untuk kita."

***


The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang