Tujuh

276 19 1
                                    

Sudah tiga hari ini aku tidak tahu bagaimana kabar Arsen. Setelah kepergiannya ke luar kota untuk urusan--yang entah apa, dia tidak menghubungiku barang sekali pun. Aku khawatir, tentu saja. Tapi setiap aku menghubungi ponselnya, nomornya selalu tidak aktif, menghubungi sekretarisnya pun sama-saja. Sebenarnya Arsen kemana? Apa di tempatnya tidak ada signal atau bagaimana. Ini benar-benar membuatku kesal setengah mati.

Aku mengerang kesal dan mencoba lagi menghubungi Arsen. Aku hampir terlonjak senang ketika mendapati nada sambung pada panggilan Arsen. Aku benar-benar harus mengomelinya. Bisa-bisanya Arsen membuat dia khawatir.

Panggilanya di angkat pada nada sambung kesekian. Entahlah, aku tidak menghitungnya.

"Mas--"

"Ya?"

Aku mengernyitkan keningku heran ketika aku mendapati suara perempuan. Aku melihat layar ponselku untuk memastikan aku tidak salah sambung. Tapi nama di layar ponselku jelas-jelas Mas Arsen, jadi kenapa yang mengangkat perempuan. Dan rasa-rasanya, aku mengenal suara ini.

"Mas Arsen?" tanyaku ragu.

"Oooh, Lea, ya? Arsen lagi di kamar mandi, paling bentaran lagi keluar."

Nada. Aku yakin kalau wanita ini Nada. Kenapa Arsen ada di rumah Nada?

"Ehm.. kenapa Mas Ar--"

"Oh, ini Arsen udah keluar."

Aku mendengar samar suara Arsen yang menanyakan siapa yang menelpon dan Nada menjawab. Aku menggigit bibir bawahku. Arsen lebih memilih mengunjungi Nada lebih dulu daripada aku?

"Lea?" Aku mendengar suara Arsen sekarang. Suara yang benar-benar aku rindukan.

"Mas? Kapan pulang? Kok gak ngabarin?"

"Baru aja. Ini saya ke rumah Nada karena deket ama bandara. Kamu masih di rumah bunda?"

"Kenapa gak ngabarin, Mas?"

Aku mendengar Arsen menghela napas. "Saya tadi capek banget. Yang saya pikirin cuman pengen cepet-cepet nyampe dan tiduran dulu. Makanya saya ke rumah Nada. Saya jemput kamu, sekarang?"

Aku menggigit bibir bawahku. Jadi hal pertama yang ada di pikiran Mas itu Nada, ya? Bukan aku?

"Mas istirahat aja dulu. Mas bilang tadi capek."

Arsen terkekeh. "Capek saya bakalan ilang kalau saya liat kamu."

Aku tersenyum. Kadang, Arsen memang bisa mengatakan hal manis seperti itu. "Gimana kalau aku aja yang jemput? Mas gak bawa mobil, kan?" tawarku. Rumah bunda dengan rumah Nada jauh sekali. Lebih bagus kalau aku yang menjemput Arsen. Arsen juga bisa tiduran dengan tenang.

"Gak papa, biar saya aja yang kesana, sekalian ngunjungin Bunda. Setengah jam lagi saya tiba. Mudah-mudahan gak macet," keukeuh Arsen.

Aku menghela napas kemudian mengangguk. "Oke. Saya tunggu, Mas."

"Lea?"

"Ya?"

"I miss you." Dan Arsen menutup sambungan. Mungkin, jika aku tidak tahu fakta bahwa Arsen sekarang berada di rumah Nada, aku pasti akan senang. Tapi sekarang, kata-kata itu lebih terdengar seperti perasaan bersalah Arsen dan caranya meminta maaf. Aku tahu aku berlebihan dan seharusnya aku tidak perlu mengkhawatirkan hubungan Arsen dan Nada, mereka hanya sahabat. Tetapi, di lain waktu, ketika aku bertemu Nada dan Arsen, kadang aku melihat sesuatu di mata mereka. Sesuatu yang mengatakan, mereka lebih dari seorang sahabat. Pikiran itu selalu membuatku resah. Apalagi obrolanku dengan Tia dan Ria tempo hari. Bukannya kau meragukan Arsen, lagipula Mama pernah bilang kalau aku adalah wanita pertama yang Arsen bawa ke rumah dan benar-benar dikenalkan pada Mama. Tapi tetap saja fakta itu tidak cukup untuk kekhawatiranku akan hubungan Arsen dan Nada.

The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang