Dua Puluh Enam

365 18 0
                                    

Arsen menarik napas panjang sebelum dia memasuki bangunan putih yang berada di depanya. Butuh beberapa hari untuk meyakinkan diri Arsen sendiri bahwa dia harus menemui yang tidak ingin ditemuinya lagi. Setidaknya belum dia ingin temui. Sayangnya, dia tahu masalah ini harus segera selesai atau hidupnya tidak akan pernah tenang lagi.

"Saya ingin bertemu dengan pasien bernama Nada Azalea," ucap Arsen ketika dia mendatangi meja resepsionis.

Wanita yang memakai baju putih di depannya menatap Arsen sekilas kemudian meminta Arsen untuk pergi ke lantai dua, tempat pengasuh Nada berada.

"Sebelumnya hanya ibu anda yang datang," kata wanita resepsionis.

Arsen hanya tersenyum kemudian mengangguk sopan sebelum dia menaiki lantai dua. Di sana terdapat beberapa ruangan. Setelah Arsen melihat-lihat sekilas, dia melihat dimana kantor pengasuh dan mengetuknya pelan. Pintu di buka dan Arsen mendapati wanita paruh baya yang membukanya. Wanita paruh baya itu tersenyum kemudian mempersilahkan Arsen untuk masuk.

"Anda ingin bertemu dengan siapa?" tanya wanita itu ramah.

"Nada. Nada Azalea," jawab Arsen.

"Ah, wanita malang itu. Mari saya antar, dia sedang ada di bawah dengan pengasuhnya," ajak wanita itu.

Arsen mengangguk kemudian mengikuti wanita itu yang ternyata bernama Ibu Melati ke taman belakang yang berada di lantai bawah. Menurut Bu Melati, beliau adalah kepala yayasan tempat ini dan sudah banyak yang keluar masuk. Hampir 80% pasien mengalami peningkatan.

"Kalau begitu apa Anda tahu diagnosa Nada?" tanya Arsen.

"Dia mengalami PTSD yang menjadikannya berlari pada self-injury. Saya pikir anda tahu trauma yang dialami Nada karena apa?" Arsen mengangguk. "Dan keadaanya semakin memburuk akhir-akhir ini," lanjut Bu Melati.

"Maksud anda?"

"Episode Nada tidak hanya sekedar menyakiti dirinya sendiri. Dia tantrum. Sudah beberapa kali mendapati dirinya akan melakukan bunuh diri."

"Bu-bunuh diri?"

Bu Melati berbalik kemudian tersenyum sendu pada Arsen. "Dia ada di sana. Dia selalu duduk di bawah pohon itu. Saya harap masalah Anda dengan Nada bisa cepat selesai. Karena bagaimanapun juga, anda adalah salah-satu kunci untuk mengobati traumanya."

Arsen berjalan ragu ke tempat di mana Nada duduk. Tepat ketika dia berada dalam jarak satu meter dengan Nada, Nada mendongak melihat Arsen yang masih terpaku berdiri di tempatnya.

Nada tersenyum lembut. "Hai," sapanya.

Arsen tercekat. Sudah lama sekali dia tidak melihat senyum itu. Senyum yang dulu sangat disukainya. Senyum yang selalu membuatnya tenang dan merasa pulang.

"Kenapa diem disana, Ar? Gak kesini?" tanya Nada bingung.

Arsen berjalan pelan ke arah nada kemudian duduk di hadapanya. "Hai. Gimana kabar kamu?" tanya Arsen.

Nada tersenyum. "Aku baik-baik saja."

"Nad--"

"Maaf," potong Nada. Wanita itu menundukkan kepalanya. "Ak-aku udah ngebunuh anak kamu. Maafin aku," lirihnya.

"Nad...."

"Aku gak tahu apa yang aku lakuin waktu itu. Aku marah, kesal, dan tiba-tiba aja aku udah ada di hadapan Lea dan--" suaranya tercekat seakan tercekik oleh tali kasat mata, "dan semuanya udah terlambat ketika aku sadar ama apa yang aku lakuin.

"Aku tahu kamu dan Lea gak bakalan pernah bisa maafin aku, tapi aku benar-benar menyesal. Jika aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan pernah memilih untuk melakukan itu, Arsen," ucapnya putus asa.

Arsen mengepalkan kedua tangannya. Dia ingin marah pada Nada, rasa-rasanya dia ingin mengguncang tubuh Nada dan menyadarkannya bahwa apa yang dia telah wanita itu lakukan merusak keluarga kecilnya yang bahagia. Tapi apa itu ada dampaknya? Apa jika dia marah semuanya akan kembali lagi seperti sedia kala? Apakah dengan dia marah pada Nada akan mengembalikan anaknya yang telah meninggal dan Lea yang memintanya untuk bercerai?

"Saya ingin membenci kamu Nada, tapi saya tahu saya tidak bisa melakukanya," kata Arsen, "karena saya tahu, tidak ada yang bisa disalahkan. Jika bukan kamu yang membuat anak saya meninggal, pasti dia tetap akan meninggal dengan cara lain."

"Arsen...."

"Saya hanya ingin hidup dengan tenang. Mungkin, butuh waktu lama untuk saya melupakan Lea jika dia memang benar-benar tidak bisa saya raih lagi, tapi...," Arsen menghela napas dan menatap Nada, "tapi saya percaya saya bisa menjalaninya. Saya masih bisa hidup tanpa kamu ketika semuanya terungkap bahwa kamu adik saya, dan saya pikir sekarang pun sama saja." setidaknya saya hars berusaha, bukan? Karena saya tahu, saya akan mati ketika Lea mininggalkan saya.

"Kamu dan Lea...."

"Saya hanya minta satu hal sama kamu, Nad. Bisakah hubungan kita menjadi normal layaknya adik-kakak? Kamu tahu saya tidak akan pernah bisa membencimu karena kamu adik kandung saya. Saya menyayangi kamu Nad. Akan selalu begitu," ujar Arsen.

Nada menghambur ke dalam pelukan Arsen dan menangis kencang. "Aku juga sayang kamu, Arsen. Akan selalu begitu, dan ya. Ya, aku bisa sayang kamu sebagai adik-kakak, gak lebih. Makasih karena kamu gak pernah ninggalin aku Arsen. Bahkan setelah apa yang aku lakuin ke kamu," isak Nada.

Arsen menarik napas lelah kemudian membalas pelukan Nada. "Berjanjilah kamu akan menyelesaikan terapi, dan kamu akan hidup dengan bahagia dengan keluarga kecil kamu," pinta Arsen.

Nada mengangguk. "Aku janji. Aku janji."

Setelah itu Arsen menarik napas lega. Walaupun dia belum sepenuhnya ikhlas dengan apa yang telah menimpanya, tapi dia tahu apa yang akan terjadi kedepannya akan menjadi lebih baik lagi.

Dan mungkin, dia dan lea tidak harus berpisah.

***

Sudah satu minggu ini dia tidak menemui Lea. Walaupun dia masih sering menanyakan kondisi Lea pada Bunda. Bunda bilang Lea selalu menangis. Tubuhnya semakin kurus dan beliau meminta Arsen untuk menemui Lea kembali. Sayangnya, Arsen tahu kalau mereka berdua butuh waktu. Setidaknya lea butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa bukan hanya wanita tiu saja yang merasa kehilangan, tapi Arsen juga.

Setelah mendengar ultimatum Lea yang memintanya bercerai sore itu, Arsen segera berdiri dan menatap Lea dengan tajam. "Saya akan menemui kamu lagi ketika kamu tahu apa yang kamu katakan, Lea," ucapnya kala itu. Setelah itu Arsen pergi dan memutuskan untuk membiarkan Lea sendiri dulu walaupun dia selalu memantau keadaan Lea.

Lamunannya tersentak ketika dia mendengar ponselnya berbunyi. Dia segera mengangkatnya ketika melihat nomor mamanya yang tertera di sana.

"Halo Ma? Kenapa?"

"Arsen...."

Arsen tahu ada yang tidak beres dengan telepon mamanya kali ini. "Ma? Kenapa? Mama baik-baik saja, 'kan?"

"Arsen, Nada meninggal. Bunuh diri."

***


The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang