Sembilan

291 19 0
                                    

Hari minggu ini kami hanya berdiam diri di rumah. Arsen yang sibuk dengan berkas-berkas tercintanya dan aku yang sibuk dengan kebun belakangku. Ria sudah tidak membantuku lagi mengurus kebun belakang. Dia benar-benar sedang menangani banyak kasus akhir-akir ini. Aku tidak keberatan, tentu saja. Lagipula Ria sudah mengajarkanku dasar-dasarnya.

Niatnya, nanti malam aku akan datang ke acara reuni SMA ku dan Arsen bilang dia akan menemaniku, jadi dia akan mengabaikanku sekarang agar semua berkasnya bisa cepat selesai.

"Jangan ganggu saya kalau kamu mau saya ikut," ucapnya kemarin malam ketika aku meminta izin padanya. Aku hanya bisa mendengus kesal. Arsen dan workaholic nya benar-benar membuatku tidak habis pikir.

Tiba-tiba aku mendengar ponsel Arsen berbunyi. Aku tahu ada yang aneh dengan Arsen. Responnya terhadap panggilan itu terbilang cepat untuk ukuran yang tadi sedang serius mengerjakan sesuatu. Aku tahu Arsen meliriku sekilas karena itu aku pura-pura asik dengan bibit jahe yang diberikan Bunda beberapa waktu yang lalu. Mungkin Arsen percaya dengan aktingku karena dia berdiri dari duduknya dan masuk ke dalam rumah. Aku yang tidak ingin melewatkan kesempatan segera meninggalkan bibit jahe ku dan mencuci tanganku kemudian mengikuti Arsen. Aku sengaja berdiri di balik tembok yang menghubungkan dapur dengan ruang tv. Aku tidak ingin Arsen tahu bahwa aku menguping. Wajah Arsen terlihat cemas dan juga gelisah. Siapa yang menelpon?

"Apa kamu bisa bertahan satu jam selagi saya ke sana, Nad?" Aku mendengar Arsen berbicara panik. Nada. Orang yang menelpon Arsen adalah Nada. Ada apa dengan Nada? Kenapa Arsen terlihat panik seperti itu? Apa ada hal buruk yang menimpanya? Tapi kenapa kesannya Arsen tidak ingin aku tahu tentang apapun yang terjadi?

Aku tidak punya kesempatan memikirkan lebih jauh karena tiba-tiba saja Arsen sudah berada di hadapanku dan menatapku dengan tatapan heran.

"Kamu lagi ngapain?"

Aku meringis. "Ehm... tadi aku mau minum, terus aku denger Mas kedengeran panik gitu. Ehm... jadi aku gak sengaja ngu--"

"Nguping?" Arsen menyipitkan matanya. Aku menggigit bibir bawahku gugup. Arsen tidak menyukai jika ada yang mencampuri urusannya, ya, kan? Apalagi ini menyangkut Nada.

"Ak-- aku gak sengaja." Aku berusaha tersenyum dengan wajah bersalah, tapi kupikir, aku lebih mirip dengan orang yang sedang sakit gigi. Menyebalkan.

Arsen menghela napas dan menggeleng pelan.

Lho? Dia tidak marah?

"Saya harus pergi dulu. Nada sedang butuh bantuan."

Wow. Kupikir dia akan berbohong atau apa. Apa dia sudah mau terbuka denganku?

"Nada kenapa, Mas? Dia baik-baik aja, kan?"

"Dia gak baik-baik aja. Karena itu saya perlu melihatnya. Dia lebih membutuhkan saya daripada kamu," jawabnya.

"Tapi Mas bakalan jadi nemenin aku, kan?" tanyaku panik. Bagaimana kalau dia membatalkan janjinya?

Dia tersenyum kemudian mencium pipiku kilat. "Saya akan ada di sini sebelum itu, ok?" Aku mengangguk.

Arsen mengusap kepalaku lembut kemudian meninggalkanku untuk mengambil berkas-berkasnya yang masih berada di meja teras belakang.

Dan aku berharap semoga Arsen benar-benar menepati janjinya.

***

Entah sudah berapa kali aku melihat jam dinding yang berada di ruang tamu. Jam 8 malam dan Arsen belum juga kembali. Ria dan Tia sudah memintaku untuk ikut dengan mereka alih-alih menunggu kedatangan Arsen.

"Bentar lagi dia pasti datang," yakinku.

Tia mendengus kemudian berdiri di hadapanku dengan kesal. "Lo kira ini jam berapa, Lea? Jam delapan! Kita udah telat satu jam!" ucap Tia kesal.

The Chronicle of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang