Sejin selalu berpikir, bahwa kebahagiaan itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Orang lain tidak memiliki tanggung jawab untuk membahagiakannya.
Tapi ada satu orang yang ternyata dengan suka rela bahkan memaksa untuk ikut andil dalam mengurus kebaha...
Sebuah kata bijak mengatakan jika perasaan itu tidak boleh di paksakan ternyata ada benarnya.
Rasanya sama seperti nekat menyukai lautan padahal tau kalau tidak bisa berenang. Dan akhirnya tenggelam menjadi salah satu resikonya.
Mark harusnya tidak mementingkan egonya dengan memaksakan sebuah pernikahan pada Park Sejin. Dia tau betul jika Sejin hanya menganggapnya sebagai teman, tapi rasa takut kehilangan membuat Mark menjadi egois.
Dia mengenal Park Sejin lebih dari siapapun, dia tau masa lalu gadis itu dan setiap episode yang gadis itu alami tak pernah terlewatkan olehnya. Dia tau betul tentang trauma Sejin pada sebuah hubungan, dan trauma itu yang membuat Sejin sulit percaya pada orang lain.
Ketidakpercayaan itulah yang akhirnya membuat Sejin enggan untuk bergantung padanya. Sejin melakukan segala hal seorang diri meskipun dia kesulitan. Jika Mark tidak menegurnya, maka Sejin akan tetap diam.
Pernikahan mereka juga terasa hambar. Sekeras apapun Mark mencoba mendekati Sejin dengan hal-hal mesra, gadis itu tetap tidak terpengaruh. Nyatanya mereka berdua lebih terlihat seperti teman sekamar daripada sepasang suami istri.
"Gapapa kan aku ke rumah mama ? "
Sejin menoleh sekali lagi untuk meminta persetujuan Mark. Dan lelaki yang sedang duduk di kursi kemudi ini tak bisa untuk berkata tidak. Dia tidak mau mengekang Sejin atau memisahkan gadis itu dari keluarganya.
"Iya, mumpung lagi libur kan." Mark memaksakan senyumannya.
Sebenarnya hatinya perih. Segerombol pemikiran negatif seolah berputar-putar di dalam kepalanya.
Apakah Sejin tidak betah tinggal bersamanya ? Apakah Sejin merasa terbebani dengan statusnya sebagai istri?
Dan Mark mulai merasa bersalah. Jika sampai Sejin tidak bahagia bersamanya, Mark akan menyalahkan dirinya sendiri atas itu.
"Kamu yakin? Ekspresi mu seperti ga rela begitu?" Sejin kembali bersuara, dengan kepala miring ke kiri saat memperhatikan wajah Mark.
"i-iya.. aku kan lagi fokus nyetir." Mark berkilah. Berharap Sejin tak menyadari ketidakrelaannya.
"Okey. Aku cuma 2 hari kok. Besok aku pulang. "
"Iya. Hati-hati, kalau mau keluar ajak Jisung. Jangan pergi sendirian."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejin pikir dia akan di sambut hangat ketika dia pulang, tapi ternyata dia salah. Ibunya memelototinya ketika dia baru sampai di pintu dan mengajukan pertanyaan yang memiliki konotasi negatif di telinga Sejin.
"Ngapain kamu kesini?"
Langkahnya langsung berhenti di tengah ruang tamu. Wajah bingung Sejin kemudian muncul sebagai respon atas pertanyaan ibunya.
"Yaa...aku mau pulang, ga boleh ya ?"
Wendy mengambil nafas dalam. Wanita itu berjalan mendekati putrinya dengan apron yang masih menempel di dadanya.