Sejin selalu berpikir, bahwa kebahagiaan itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Orang lain tidak memiliki tanggung jawab untuk membahagiakannya.
Tapi ada satu orang yang ternyata dengan suka rela bahkan memaksa untuk ikut andil dalam mengurus kebaha...
Sejin tidak percaya apa yang dia lihat. Park Yera yang sebelumnya memiliki masalah pribadi dengan Sejin kini duduk manis dan terlihat sangat akrab dengan papanya.
Gadis itu tidak tau pasti situasinya tapi di dalam kepalanya dia sudah menata belasan asumsi untuk mengartikan situasi ini.
"Papa?? Papa kenal mereka ?" Yera menatap Sejin dan Jisung dengan tatapan meremehkan.
"Dia..?? Eh..?" Dan pria di hadapannya tampak ragu untuk menjawab.
'kenapa papa diam? Apakah papa ga mau mengakui aku dan Jisung??' Sejin memprotes di dalam pikirannya. Tapi dia tak berkeinginan untuk meneriakkan itu di depan orang yang telah mencampakkan mamanya.
"Kenapa mereka memanggilmu papa?" Yera kembali bertanya.
"Ahh.. bukan, mereka bukan siapa-siapa, papa ga kenal mereka."
Sejin langsung memejamkan mata dengan rahang mengeras. Jantungnya terasa sakit, seperti baru saja terkena Sambaran petir.
Sejin memang tau kalau papanya meninggalkan mamanya karena menikahi perempuan lain. Tapi dari sekian banyak orang kenapa harus ibu dari Park Yera??
Dia adalah orang yang pernah membully Sejin bahkan nyaris mencelakainya.
Tapi.... Siapa peduli dengan itu. Siapapun orang yang membuat papanya berpaling, Sejin akan otomatis membencinya.
Dan sekarang Sejin telah benar-benar sadar bahwa dia tidak sekedar di campakkan, dia telah di buang dan tidak di akui. Kenyataan itu membuat Sejin tersenyum miris.
Gadis itu melirik Jisung. Wajah lelaki itu penuh emosi dengan kedua tangan yang mengepal.
"Jisung ayo pergi."
Mau tidak mau Sejin menarik adiknya pergi. Dia tidak mau Jisung lepas kendali dan membuat keributan di kedai orang.
Sepasang kakak beradik itu berjalan di trotoar dengan perasaan campur aduk. Sejin terluka, hatinya begitu sakit ketika dia di buang tepat di depan wajahnya.
"Kenapa dia harus muncul ketika aku sudah bersusah payah melupakan wajahnya." Suara Jisung sangat datar tapi Sjein bisa mendengar getaran dari suaranya. Adiknya itu tengah menahan tangis.
"Jisung... "
"Kenapa dia Setega itu kak?? Apa salah mama ? Apa salah kita? Apakah kita terlalu memalukan untuk sekedar di akui??"
Sejin menghentikan langkahnya. Gadis itu memutar tubuhnya menghadap Jisung dan menatap dua mata polos yang tengah di penuhi genangan air mata.
Tak ada sepatah katapun yang bisa dia ungkapkan untuk sekedar menghibur adiknya. Atau mungkin sebaris kalimat positif yang menggambarkan kalau mereka juga anak-anak yang berharga, karena Sejin sendiri telah menganggap bahwa dirinya tidak diinginkan di dunia ini setelah papanya pergi.
Sejin merentangkan tangannya, membawa tubuh jangkung Jisung dalam dekapannya. Berharap kalau mereka bisa saling menguatkan meskipun tanpa ada sedikitpun kata motifasi.
"Kakak tau ini berat." Sejin berusaha untuk tidak terisak di hadapan Jisung. Setengah mati dia menahan air matanya dan terlihat tegar.
"Tapi kakak mohon, jangan cerita apapun ke mama. Karena dia yang paling terluka di antara kita. "
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mark baru saja pulang dari kampus. Lelaki itu sempat melihat Sejin di dapur tapi dia tak menjawab ketika ditegur.
Mark tidak mempermasalahkan itu. Dia pergi ke kamar untuk mandi lalu kembali berjalan keluar karena tak mendengar suara apapun di dapur.
Mark pikir Sejin telah selesai memasak, tapi ternyata belum. Gadis itu tengah memotong wortel. Kepalanya memang tertunduk tapi tatapan mata Sejin benar-benar kosong.
"Hey Sejin!! " Lelaki itu memekik panik ketika tanpa sengaja Sejin mengiris jarinya. Tapi anehnya gadis itu tidak sadar dan terus melanjutkan kegiatannya dengan darah yang mengucur bercampur dengan wortel di atas tatakan.
"Jarimu terluka !! "
Mark menghentikan pergerakan Sejin. Lelaki itu langsung membawa tangan Sejin ke bawah pancuran air di wastafel, mencucinya kemudian membekapnya dengan lap bersih untuk menghentikan pendarahannya.
"Tunggu disini, aku ambilkan obat dulu. " Kata Mark.
Sejin sama sekali tak menjawab. Matanya bergerak menatap lap yang membungkus jari telunjuknya. Kain lap yang berwarna putih itu perlahan di penuhi bercak merah. Dalam kondisi ini harusnya dia merasa kesakitan kan??? Tapi anehnya Sejin tidak merasakan apapun.
"Sini tangannya."
Mark menuntun Sejin untuk duduk di meja makan. Lelaki itu dengan telaten mengobati luka Sejin sebelum menempelkan plester disana.
Diam-diam Mark memperhatikan wajah istrinya. Sejin berlaku tak seperti biasanya. Dia terlalu diam, dan tatapan matanya sangat kosong.
"Kamu gapapa ? " Sejin tak langsung menjawab, setelah Mark menggoyangkan tubuhnya barulah Sejin menjawab.
"Hm? Kenapa ? " Sejin berusaha membuat kontak mata dengan Mark.
" Lee Sejin.. apa ada sesuatu yang terjadi dan aku ga tau ?"
Sejin kembali tertunduk dan menggeleng.
"Bukankah kita sudah janji buat saling terbuka? Aku suamimu, aku berhak tau. "
Tatapan Sejin kembali bergerak naik. Menatap 2 mata Boba Mark yang tengah menunggu jawaban darinya.
"Aku dan Jisung ketemu papa..."
Mark hampir menjatuhkan botol iodine di tangannya setelah dia mendengar jawaban Sejin.
"... Dia pergi dengan putri barunya, Park Yera. Dan ga mengakui aku dan Jisung."
"Apa ?? Park Yera???" Mark terkejut dengan fakta itu. Dia sampai menutup mulutnya yang menganga saking terkejutnya.
Wajah terkejut Mark kemudian berubah menjadi tatapan khawatir. Lelaki itu duduk di hadapan Sejin lalu memeluk gadis itu dengan erat.
Air mata yang Sejin tahan dengan susah payah akhirnya runtuh juga. Dia terisak begitu keras dalam pelukan Mark. Mengungkapkan segala kekecewaan dan rasa sakitnya dalam nada memilukan yang tak bisa lagi dia bendung.
Mark memeluknya sampai isakan Sejin melemah. Dia lelah menangis bahkan Sejin yakin matanya pasti membengkak parah sekarang.
Dengan tatapan lembut Mark mengusap air mata Sejin, lalu mengusap kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.
"Semua rasa sakit itu berasal dari kehilangan. Kehilangan orang yang paling kamu cintai, kehilangan sosok yang paling kamu percaya, dan kehilangan kebahagiaan yang selama ini kamu miliki... " Mark menatap kedua mata berair Sejin.
"... Dan hal yang paling baik untuk mengatasi rasa kehilangan itu adalah dengan mengikhlaskannya. Terimalah kenyataan yang ada dan relakan apa yang telah terjadi. Dengan begitu hatimu akan kembali tenang."
Sejin menatap Mark dengan serius. Air matanya telah berhenti mengalir dan hembusan nafas panjangnya seolah memberi pertanda jika Sejin akan meninggalkan kesedihannya.
"Mark.. aku ingin pulang ke rumah mama, boleh kan ??"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.