Mark tidak tau kenapa Sejin bisa ada di kantor papanya. Yang jelas ini adalah bencana besar untuknya.
Sebenarnya Mark tidak ingin berbohong, dia tidak bermaksud untuk membohongi Sejin. Tapi dia punya alasan khusus kenapa dia harus menutupi pekerjaannya.
"Jadi.. kamu jadi office boy di kantor papa ?" Sejin bicara dengan nada suara rendah, tidak ada amarah di dalamnya, namun tatapan datar gadis itu justru membuat Mark takut.
"Iya." Lelaki itu menunduk penuh perasaan bersalah.
"Kenapa kamu bohong. Kamu bilang kerja kantoran bukan office boy Mark. "
"Yaa... Office boy kan juga kerja kantoran, office - boy -cowok kantor."
"Mark!!" Sejin kesal, bisa-bisanya Mark masih bisa bercanda setelah membohonginya.
"Sorry, aku ga maksud bohong sama kamu. Aku cuma takut kamu malu punya suami office boy. "
Sejin menatap Mark tidak percaya. Bagi Sejin alasan Mark itu benar-benar konyol.
"Aku ga pernah malu meskipun kamu seorang office boy." Nada suara Sejin kembali merendah. Wajah kakunya melunak.
"Aku cuma sedikit kecewa karena kamu ga jujur." Lanjut Sejin.
"Maaf. Aku cuma ingin jadi suami yang keren buat kamu. Kerja di kantor, punya gaji banyak. Dan office boy sangat jauh dari standart kerenku. "
Penuturan Mark membuat Sejin tersenyum tipis. Alasan Mark memang sedikit kekanakan, ditambah wajah polosnya yang tertunduk membuat Sejin rasanya tidak bisa menahan diri untuk memeluk lelaki itu.
Dan gadis itu merealisasikannya. Sejin menghambur memeluk Mark lalu memberikan sebuah kecupan hangat di pipi lelaki itu.
"Bagiku kamu sudah jadi suami yang keren."
" kamu ga marah? " Mark sedikit kikuk, dia bahkan bingung harus meletakkan tangannya dimana.
Pada akhirnya Mark balas memeluk Sejin, dan sedikit menunduk untuk mengecup kepala gadis itu.
"Mm... sedikit. Lain kali jangan bohong lagi."
" Iya sayang." Mark menjawab dengan suara lembutnya.
Panggilan itu membuat Sejin reflek melepaskan pelukannya. Semburat merah muda menghiasi pipi-pipinya dan itu lucu di mata Mark.
"Jangan panggil aku begitu kalau di tempat umum."
"Kenapa ? Salting ya ??"
"Malu tau."
"Sayang.... Sayaaaang.. "
"Mark!!!"
Mood Sejin benar-benar bagus, tidak hanya hari ini tapi setiap hari. Dulu dia sangat takut untuk menjalin hubungan yang lebih dari teman, seperti berpacaran misalnya. Tapi dengan Mark kekhawatirannya itu sirna. Nyatanya menikah itu lebih seru dari sekedar berpacaran.Mark telah memenuhi gudang kasih sayang Sejin yang telah lama kosong. Dia memperlakukan Sejin dengan penuh cinta, merayunya dengan kata-kata manis setiap hari dan memberikan pelukan setiap saat.
Aahhh... Sejin merasa begitu bahagia dengan pernikahannya. Menikah dengan Mark adalah pilihan paling tepat yang telah dia buat. Tapi sayangnya kebahagiaan yang dia rasakan itu membuatnya sedikit lupa pada keluarganya terutama adik bungsunya Park Jisung.
Sejin lupa menanyakan tentang kabar Jisung bahkan dia lupa untuk mengunjungi rumah ibunya, sampai-sampai Jisung lah yang harus mendatangi kampus Sejin untuk mengingatkan gadis itu pada eksistensinya.
"Park Jisung ??"
Sejin tentu terkejut melihat adiknya berdiri di depan gerbang kampus. Sejin menghampirinya, menatap wajah muram Jisung yang tidak seperti biasanya.
"Kenapa kamu disini ?"
"Kenapa aku disini ?? Kakak ga suka ketemu aku ? Apa setelah menikah kita sudah bukan keluarga lagi ?? "
"Bukan gitu jie.. " Sejin berdecak. Jisung memang terlihat sedikit aneh, dia tidak se-sensitif ini biasanya. Apa terjadi sesuatu di rumah?
"Mm.. ayo kita beli makan dan bicara, okey.. "
Jisung itu memang masih bocah. Membujuk lelaki itu tidaklah sulit. Sejin tinggal membawa Jisung ke restaurant ayam di depan kampusnya dan membelikannya makanan. Dengan begitu Jisung akan melupakan kekesalannya.
"Maaf ya, kakak sibuk belum bisa pulang." Sejin mencoba mencari alasan dan dia bisa mendengar Jisung berdecak.
"Ya meski sibuk setidaknya telepon mama dong, kasihan mama sering ngelamun sendirian. "
Sejin condong kedepan, dadanya menempel di pinggiran meja lalu dia bicara dengan pelan.
"Apa terjadi sesuatu ??"
Jisung tidak langsung menjawab. Lelaki itu menggigit paha ayam yang dia pegang lalu mengunyahnya dengan santai.
"Mama ga pernah cerita apapun. Aku pikir dia cuma kesepian karena kakak ga ada."
"Aahhh... " Sejin mendesah. Dia seratus persen merasa bersalah sekarang.
"Okey.. nanti kakak usahakan untuk pulang ya."
Jisung hanya mengangguk, dengan pipi menggembung penuh makanan. Keduanya kemudian diam, saling menatap satu sama lain tapi tak ada pembahasan yang terucap.
Sejin sibuk dengan rasa bersalahnya. Dia merutuki dirinya karena memilih untuk bahagia sendirian tanpa mengingat keluarganya.
Gadis itu menyangga dagu dengan satu tangannya. Melamunkan segala hal yang dulu pernah mengganggu pikirannya. Sampai ada sepasang ayah dan anak yang duduk di sebelah kursinya, lamunan Sejin langsung buyar.
Gadis itu reflek berdiri, dengan kedua mata yang membulat dan sedikit berair. Jisung juga melihat itu, dan reaksi yang dia berikan tak jauh berbeda dengan Sejin.
"Papa???"
"Sejin? Jisung ?? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Not an Ordinary Friend | MARK LEE
Fiksi PenggemarSejin selalu berpikir, bahwa kebahagiaan itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Orang lain tidak memiliki tanggung jawab untuk membahagiakannya. Tapi ada satu orang yang ternyata dengan suka rela bahkan memaksa untuk ikut andil dalam mengurus kebaha...