Chapter 2

140 7 0
                                    

Setelah sekian lama, akhirnya Max mulai siuman. Dia membuka matanya perlahan, dan mendapati dirinya berada di Silver Cross... lagi.

"Max? Kamu sudah sadar?"

Max menoleh ke sebelah kanan, dan dia melihat Xenon disampingnya.

"Xenon? Apa yang kau lakukan disini?" tanya Max.
"Sudah pasti menunggumu. Begitu Taro-san memberitahuku kalau kamu pingsan dan dibawa ke Silver Cross, aku segera menjengukmu," jawab Xenon.
"Oh begitu," kata Max. "Omong-omong, sudah berapa lama aku pingsan?"
"Sekitar dua hari," balas Xenon.

Max mengangguk, sebelum dia sadar dengan ucapan Xenon.

"APA?! DUA HARI?! AKU BELUM MEMBERIKAN LAPORANKU KEPADA ZOFFY-SAN!" teriak Max yang bisa saja mengagetkan semua Ultra yang ada di Silver Cross, bahkan Xenon juga kaget karena Max yang tiba-tiba berteriak.
"Max, kamu jangan khawatir. Taro-san sudah memberikannya pada Zoffy-san. Aku yakin Taro-san juga sudah menceritakan kondisimu pada Zoffy-san. Zoffy-san memang tegas, tapi kalau dia tahu tentang kondisimu, dia pasti akan mengerti," jelas Xenon untuk menenangkan Max.
"Begitu ya? Syukurlah," ujar Max, walaupun dalam hatinya, dia berharap atasannya bisa seperti Zoffy, tegas tapi penuh pengertian. "Tapi tetap saja..."

Tangan Xenon memegang bahu Max. "Lebih baik kau istirahat saja. Jangan memaksakan diri."
"Baiklah. Terimakasih, Xenon, karena sudah menemaniku selama dua hari ini," kata Max, lalu dia membaringkan diri diatas kasur.
"Aku harus pergi, soalnya aku masih bertugas. Pokoknya kamu istirahat dulu, Max," kata Xenon.

Ketika Xenon sudah pergi, Max justru beranjak dari kasurnya. Dia tidak peduli dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Yang ada dipikiran Max adalah perasaan takut tentang hal yang bisa saja dilakukan oleh senior-seniornya dan juga seorang atasan kalau dia tidak menuruti apa yang mereka perintahkan. Max pun diam-diam berjalan keluar dari Silver Cross.

Max sudah keluar dari Silver Cross dan bermaksud untuk pergi ke kantornya. Ketika dia akan mulai berjalan ke lokasi yang akan dia tuju, dia bertemu dengan Zero.

"Bukankah kamu Max?" Zero sudah melihat Max terlebih dulu. Max berusaha untuk mengabaikan Zero, tapi Zero sudah mencegatnya.

"Kamu mau kemana, Max?" tanya Zero.
"Bukan apa-apa," jawab Max sambil mengalihkan pandanganya dari Zero.
Zero, sama seperti Taro, memperhatikan beberapa luka dan memar di sekujur tubuh Max. "Harusnya kamu jangan pergi kemana-mana dulu. Lihat luka-luka ini! Perlukah aku membawamu ke...," Zero tidak dapat menyelesaikan kata-katanya karena Max yang menyela pembicaraan.

"Aku tidak apa-apa, Zero! Aku juga harus kembali ke kantorku, kalau tidak...," kata-kata Max terputus ketika Zero menatapnya dengan serius.
"Kalau kamu tidak mau istirahat di Silver Cross, lebih baik kamu istirahat saja di rumah. Biar aku antarkan," kata Zero.
"Eh, tidak usah repot-repot, Zero. Nanti kamu kena masalah," kata Max.
Zero berdecih. "Mana mungkin aku kena masalah hanya karena mengantar seorang ultra yang terluka pulang kerumahnya. Sudahlah, biar kuantar.

Mau tidak mau Max pun mengalah. Dia membiarkan putra dari Ultraseven untuk mengantarnya pulang.
Di tengah perjalanan, mereka dicegat oleh beberapa ultra yang merupakan senior-seniornya Max.

"Hei, Max. Darimana saja kamu?" tanya seniornya Max 1.
"Iya, tugasmu jadi menumpuk, Max," kata seniornya Max 2 menambahkan.
"Ma-maaf, aku akan mengerjakan semuanya segera," kata Max.

Zero mengeryitkan dahinya, lalu dia berbisik pada Max. "Max, mereka ini siapa?"
"Mereka senior-seniorku, Zero," jawab Max, berbisik pada Zero.

"Hei!"

Max dan Zero pun menatap ke arah senior-seniornya Max

"Berapa lama kamu akan berdiri saja disitu, Max? Kau harus kembali ke kantor dan kerjakan semua tugas-tugasmu!" seru seniornya Max 2.
"Jangan lupa kerjakan tugas-tugas punya kita ya," ujar seniornya Max 3.
"Kalau kamu tidak mau, kami akan menghukum kamu," ancam seniornya Max 1 sambil mengepalkan tinjunya.

Max ketakutan. Zero yang melihat kejadian itu, merasa kesal.

"Kasih Max waktu untuk istirahat! Lihat dia! Kondisinya benar-benar parah seperti ini!" seru Zero yang berusaha membela Max.
"Heh, Zero! Kamu jangan ikut campur! Ini urusan kita dengan Max," kata seniornya Max 2.

Zero, yang kesabaran sudah mencapai batas, meninju salah satu seniornya Max. Membuat ultra tersebut terjatuh.

"Apa-apaan itu?" gerutu seniornya Max yang tidak terima ditinju oleh Zero.
"Mentang-mentang kalian seniornya Max, lalu menyuruh Max melakukan apapun yang kalian perintahkan tanpa mempedulikan kondisinya. Kalian memang brengsek," kata Zero sambil mengacungkan jari tengah kepada senior-seniornya Max.
"Kurang ajar!" Seniornya Max yang sudah menjadi korban tinju dari Zero pun bangkit dan ingin membalas perbuatan Zero, tapi ditahan oleh kedua rekannya.

"Jangan!" seru seniornya Max 1.
"Dia itu Zero, putranya Ultraseven dan muridnya Ultraman Leo. Kita bisa kena masalah kalau mereka berdua juga tahu tentang ini," kata seniornya Max 3.

Mereka hampir terlibat dalam sebuah perkelahian ketika Ultraman 80 datang dan melihat kejadian itu.
"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut seperti ini?" tanya 80.
"Ah, 80-sensei! Begini, mereka...," Zero berusaha menjelaskan kejadian barusan, tapi Max menutup mulutnya.
"Tidak apa-apa. Ini hanya kesalahpahaman saja," jawab Max.
Zero tidak terima ketika dia mendengar jawaban dari Max. Dia pun melepaskan tangan Max yang menutup mulutnya. "Kenapa kamu menutup mulutku, Max? Mereka bertiga yang mulai duluan!"

80 berusaha untuk menenangkan keadaan. "Tidak apa-apa. Kesalahpahaman itu memang wajar. Oh iya, Max. Bagaimana keadaanmu?" ujar 80.
"Aku baik-baik saja, 80. Tapi aku harus kembali ke kantor. Banyak yang harus dikerjakan," jawab Max.

Zero kembali menatap Max dengan wajah cemberut. "Tidak, Max. Kamu tidak..."
"Sudah tidak apa-apa. Asal kamu ingat untuk istirahat saja," 80 menyela perkataan Zero.

Max kini mengikuti senior-seniornya, meninggalkan Zero yang masih tidak percaya kalau Max harus mengikuti senior-seniornya yang kurang ajar itu.

"Zero, ayo ikut aku!" ajak 80 yang sejak dari tadi memperhatikan Zero. Zero masih kesal dengan para senior yang sudah mengancam Max. Dengan terpaksa, dia menuruti 80.

80 dan Zero kini duduk di sebuah bangku yang ada di taman. Zero masih kesal, terlebih lagi, dia kesal karena dia gagal untuk membela Max.

"Zero, mau sampai berapa lama kamu kesal seperti itu?" tanya 80.
"Bagaimana aku tidak kesal? Mereka menyuruh Max untuk melakukan apapun yang mereka minta, padahal kondisi Max tidak baik-baik saja! Apalagi mereka mengancamnya! Max juga tidak berbuat apa-apa! Dia hanya bilang kalau dia baik-baik saja, padahal kondisinya benar-benar tidak baik-baik saja!" omel Zero.
"Ya, Max memang tidak baik-baik saja. Tapi dia masih memaksakan diri untuk menuruti mereka dengan alasan tertentu. Itu menjelaskan luka-luka ditubuhnya," kata 80.

"80-sensei tahu itu?" tanya Zero.
80 menganggukkan kepalanya. "Aku tahu kalau Max berbohong tentang kondisinya, itu terlihat di matanya. Selain itu, perasaan takut itu juga terlihat di matanya," jawab 80.
"Kalau 80-sensei tahu, kenapa kamu tidak berbuat apa-apa?" tanya Zero.
"Aku percaya padamu, tapi kita perlu lebih banyak bukti dan kesaksian dari ultra lain kalau Max benar-benar diperlakukan kasar oleh mereka. Kita masih perlu lebih banyak waktu," jawab 80.

Sementara itu, senior-seniornya Max mempertemukan Max dengan atasannya.

"Halo, Max. Sudah dua hari aku tidak melihatmu," kata atasannya Max.

(Btw, ini settingnya sebelum Xenon jadi atasannya Max.)

"Tidak perlu bersikap seperti kamu peduli padaku," tukas Max dengan ketus. "Aku sudah lelah dengan perlakuanmu dan juga mereka. Aku tidak bisa terus begini."
"Dengar ya, Max. Kamu adalah bawahanku. Sudah kewajibanmu untuk menuruti apa yang diminta atasanmu," kata atasannya Max.
"Sudah cukup! Lebih baik aku keluar dari sini!" Seru Max.

Atasannya Max yang tidak terima Max membalas perkataannya, seketika raut wajahnya berubah. Dari senyuman yang terpampang di wajahnya, berubah menjadi kekesalan terhadap kata-kata Max.

"Oh, jadi bawahanku sudah berani melawan balik ya? Kalau begitu, biarkan atasanmu mendisplinkan dirimu," kata atasannya Max dan beranjak dari tempat duduknya. Dia sudah bersiap-siap untuk menghajar Max.

Di saat itulah, Max berada di situasi yang benar-benar gawat.

He Shouldn't KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang