Hingga fajar menyingsing belum ada tanda-tanda panglima kembali ke kamarnya. Sementara itu sepanjang malam, Shion tidur di depan pintu kamar Naruto. Meringkuk di atas lantai batu alam yang dingin dan tanpa alas. Dia bak putri tidur yang mengharap kedatangan sang panglima untuk membangunkannya.
.
.
"Selamat pagi,"
Yang diharapkan justru ada di sana. Ketika Hinata membuka mata, pemandangan pertama yang dia lihat adalah torso telanjang Naruto.
Sang putri mahkota mengerjab saat panglima meraih telapak tangannya dan mengecupinya dengan lembut. Bukan hanya telapak, bibir itu menciumi tiap bagiannya; sela-sela jari hingga ke punggung tangan.
"Apa kau tidur nyenyak?"
"Huum, sangat...."
Hinata merasakan rambutnya tengah dibelai. Rasa nyaman itu seperti bulu angsa yang halus dan diusap-usap ke pipinya.
Hinata tidak ingin menyudahi ini dengan cepat, sehingga dia tanpa sadar menggeliat, dan melingkarkan lengan kurusnya ke pinggang pemuda itu.
"Apa Panglima akan kembali sekarang?"
Rasa malas yang tumbuh membuatnya tak ingin bangun. Selimut ini terlalu berat untuk ditanggalkan, atau, sebab dia masih ingin berlama-lama bersama sang panglima.
Udara yang berembus melalui sela-sela ventilasi kamarnya terasa segar. Cahaya keemasan menerobos melalui jendela-jendela, membuktikan ini bukan lagi pagi, melainkan hampir siang.
Naruto melirik Hinata yang tengah bermanja-manja kepadanya. Dia menyusupkan jari-jarinya ke rambut wanita itu.
"Seperti ini...." Naruto bergumam.
"Hum, apa?"
Sekilas apa yang baru mereka lalui semalam terlintas.
Ketika ia melihat reaksi polos Hinata yang terpuaskan, dia merasa takjub sekaligus tidak mengenali wajah Hinata ketika mereka melakukannya di depan cermin.
Itu sangat cabul, dan dia menarik rambut Hinata yang panjang seperti ini....
"—ah," Hinata terkejut sebab Naruto tiba-tiba menjambak rambutnya.
Naruto sedikit merunduk, pipinya terlihat memerah, "Putri, kau mau ronde ke sebelas?"
Pupil Hinata melebar dan wajahnya langsung memanas. Sulit sekali menyembunyikannya sekalipun dia telah menunduk dengan hati-hati.
Saat Naruto berupaya mendekati bahunya, dia buru-buru menarik diri dan langsung bersandar di sisi pemuda itu dengan penuh energi.
"Sebaiknya memang Panglima kembali sekarang."
"Mengapa? Kita bisa melakukannya sampai pagi lagi."
Oh sungguh, bukankah seharusnya pengaruh afrodisiak itu sudah hilang?
Hinata merinding. Dia teringat saat semalam panglima mendorongnya ke belakang. Dia tidak bisa lupa deru napas hangat Naruto kala mencumbu setiap bagian sensitifnya. Kejantanannya yang tegak dan kaku menyentuh pusarnya. Bagaimana panglima menangkap dagunya dan menciumnya dengan kasar.
Hinata tidak menampik bahwa dirinya sangat menyukai pria itu. Bagaimana caranya mendekatkan wajah, bagaimana dia menunduk dan membenamkan hidung ke lehernya. Bahkan, mata biru itu tak luput dari hal yang dia sukai.
Iris biru panglima serupa ekstasi yang membuatnya candu sekaligus merasa takut. Dia seperti tidak bisa menatapnya berlama-lama sebab mengandung ilusi.
"Kau sedang memikirkan apa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/200409158-288-k117446.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wheel of Fortune
FanficKeduanya bertemu saat kunjungan Hinata ke Azzard: sebuah desa yang indah di pegunungan Megapolina. Impresi pertama tak cukup baik. Bagaimana tidak, Naruto mengacungkan pedangnya pada Hinata. Dimulai dari tersesat di hutan hingga festival bunga tahun...