Jauh dalam lubuk hatinya, Hinata sadar bila putra mahkota memandangnya sejak tadi—cukup lama—sejak awal mereka naik ke kereta.
Hinata terlalu menjadi pengecut untuk bertanya pada sang pangeran. Nyalinya ciut, atau lebih karena dia takut?
Kakinya yang sedari awal sedikit merenggang, perlahan ia katupkan rapat-rapat. Punggung tangan sengaja dia tarik menutupi bibir, seraya netranya memandang barisan pohon cemara di seberang jalan.
Ada apa? Kenapa pangeran tiba-tiba bersikap dingin?
"Putri, kamu pasti sedang kesal padaku...."
Mata Hinata dan Sasuke bertemu. Berbeda dengan Hinata yang menatap bingung, pemuda itu mengisyaratkan kesedihan. Sepasang irisnya terlihat goyang seperti pendar lilin di tengah badai.
"... Pangeran?"
Sasuke melempar tangannya yang lebar ke mukanya sendiri—menyisakan separuh mata yang mempertontonkan alisnya yang mengerut.
"Hah, maaf membuatmu kesepian. Seharusnya aku turut mengajakmu saat pergi bersama Putri Shion. Kamu terus mendiamkanku, karena sedang marah 'kan?"
Hinata mengangkat bulu matanya—berkedip cepat. Mungkinkah dari tadi dia mispersepsi pada Sasuke?
Pikiran buruknya pelan-pelan terjun ke dasar jurang, pun terganti rasa menggelitik, sebab kemungkinan, sejak tadi mereka memiliki spekulasi yang sama.
Senyum Hinata mengafirmasi bahwa dia tidak sedang marah, dan ekspresi Sasuke membuktikan penilaiannya salah.
"Justru saya yang mengira Yang Mulia sedang marah."
Tangan kanan Hinata terangkat, sebuah kecupan mendarat di telapaknya.
"Bagaimana kamu berpikir seperti itu?"
Hinata mengerut bak kucing kedinginan. Dia seperti boneka kapas yang terisi oleh air, ambruk dalam sudut kereta begitu Sasuke mengecupi setiap sisi tangannya.
Sasuke menunduk, sesaat netranya memandang sepasang mata sayu yang kebingungan.
"Kamu menghilangkan sarung tanganmu?"
Sebuah gigitan di telunjuknya berakhir dengan Sasuke menekankan dua jari Hinata pada lidahnya.
"Sa-saya membuangnya karena basah."
"Kenapa bisa basah?"
Pertanyaan beruntun yang membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. Hinata mencengkeram gaunnya erat-erat. Boleh jadi, dia tengah panik.
Dalam beberapa detik, atmosfer di dalam kereta sudah berubah. Suara napas mereka lebih mendominasi dibanding hentak kaki kuda ataupun roda kereta yang menyusuri tanah.
"Saya menjatuhkan topi di kanal, lalu mengambilnya dan sarung tangan saya basah oleh air. Apa ini yang sedari tadi mengganjal pikiran Pangeran?"
"Aku tidak berprasangka soal itu. Aku khawatir panglima memperlakukanmu dengan kurang baik." Sasuke mendorong tangan Hinata. Dia memijat pelipisnya sambil menatap Hinata. "Seharusnya panglima mengambilkan topimu. Kamu tak harus melakukannya sendirian. Tapi temanku yang satu ini memang tidak peka."
"Pangeran, ini bukan perkara yang sulit. Waktu itu panglima sedang memanggil burung di atas dahan, saya dapat melakukannya sebab itu hanya di bawah kaki saya."
"Hm, lain kali kita berjalan-jalan lagi, berdua saja."
.
.
Setiba di istana, rupanya raja dan ratu sedang berada di lorong pintu masuk utama.
Turun dari kereta, Hinata menunduk simpatik—menjinjing sedikit gaunnya sebagai bentuk penghormatan. Di waktu nyaris bersamaan, pangeran meraih tangannya untuk sama-sama mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wheel of Fortune
Fiksi PenggemarKeduanya bertemu saat kunjungan Hinata ke Azzard: sebuah desa yang indah di pegunungan Megapolina. Impresi pertama tak cukup baik. Bagaimana tidak, Naruto mengacungkan pedangnya pada Hinata. Dimulai dari tersesat di hutan hingga festival bunga tahun...