bab 24

513 71 14
                                    

Keheningan yang kental menyelimuti mereka setelah Naruto menceritakan apa yang dia tahu. Begitu berat seolah-olah udara menghilang dari sana, dan kamar itu berubah menjadi ruang hampa.

"Aku terlalu fokus mencurigai orang-orang di luar lingkup raja, sampai lupa, jika orang terdekat juga berpotensi menjadi pelaku." Naruto menyandarkan keningnya di bahu Hinata. Sebelumnya, Hinata tak pernah melihat raut muka panglima yang sesedih itu.

Gadis berambut panjang tersebut berusaha menenangkan kekasihnya dengan mengusap punggung lebarnya.

Matanya yang teduh menatap ke bawah, suaranya lembut; berbisik dengan lirih, "Ini bukan salahmu, Panglima. Berhenti menyalahkan diri sendiri."

"Sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keamanan negeri ini, aku bahkan tidak bisa melindungi rajaku sendiri. Aku benar-benar bodoh." Bergetar, suara Naruto terdengar parau.

Tidak ada yang lebih pedih dari mendengar suara hati dari seorang pria yang terluka. Padahal saat bertarung dia sangat kuat.

Apapun itu, Hinata dapat memafhumi alasannya. Fugaku adalah sosok raja yang baik di mata Naruto, yang membesarkannya tak ubah putranya sendiri.

"..."

Setelah melewati satu malam yang panas dan berkeringat, di pagi hari Naruto baru sadar jika semalam dia memperlakukan Hinata dengan brutal.

Penuh dengan bekas merah dan gigitan di sekujur badannya, Hinata tertidur pulas di sisinya dan memeluknya. Saat ia bangun, Hinata turut tersadar lalu memakai bajunya kembali.

"Sekarang mandilah agar kepalamu jadi lebih segar."

Naruto menggeleng. Dia masih menyembunyikan irisnya yang berkaca-kaca dengan menunduk di bahu Hinata.

Terasa, ada satu air mata yang jatuh di sana. Hinata turut merasakan area selangkanya menjadi sedikit basah.

"....aku juga bersalah membuatmu terisolasi di paviliun. Seandainya aku menyadari siapa pelakunya lebih cepat, kau pasti tidak akan tersiksa."

Begitu menyesakkan ketika Hinata mengangkat wajah Naruto dan terlihat lebih banyak lagi air mata yang mengalir, "..."

Panglima juga bisa menangis seperti ini.

"Selain membiarkan raja tewas, aku juga tidak bisa menolongmu, Hinata!"

Hinata menyeka air mata di pipi lelaki yang dicintainya. Tanpa sadar, matanya ikut berkaca-kaca. Naruto seperti dipenuhi rasa penyesalan yang sebenarnya itu bukan kesalahannya.

"Apa yang kau pikirkan? Aku baik-baik saja! Saat dikurung, pangeran juga memperlakukanku dengan baik."

"Tapi aku tidak suka melihatnya!"

Hinata pikir mungkin panglima sedikit cemburu. Sebagai pria, tentu dia membenci wanitanya didekati lelaki lain. Tapi bukankah mereka sudah terlalu jauh?

Andai Dewa memberinya satu kesempatan untuk kembali, pasti Hinata akan memilih berterus terang perihal perasaannya, daripada bermain petak umpet seperti ini dan pada akhirnya pangeran tetap menemukan mereka.

Semua sudah terlanjur. Gerimis menjelma sebagai badai. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berbalik secara ofensif.

"Panglima, kita tidak ada pilihan...."

Naruto mengangguk, "Aku tahu itu. Bagaimanapun caranya, aku akan melawan raja untukmu, Hinata."

Hinata mencium bibir pria itu lebih dulu.

"Uh..."

Rasa manis terecap di ujung lidah Naruto. Udara yang panas terembus dari sela-sela pernapasan mereka.

The Wheel of FortuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang