Petang ini salju kembali menuruni kota, intensitasnya lebih lebat hingga suaranya mampu mengimitasi keheningan malam.
Salju menyapa pepohonan yang bahkan belum sempat disentuh mentari. Salju berjatuhan di atap-atap rumah, berguguran menabur rona putih pada jalanan lengang dan membuat petugas kebersihan bekerja lebih ekstra untuk menyingkirkannya dari badan jalan.
Suara tapal kuda terdengar memelan sebelum akhirnya lenyap di ambang pintu gerbang. Penjaga melakukan pemeriksaan terlebih dahulu, baru kereta bisa masuk.
Mulai tergelincirnya matahari di kaki langit barat, para garda meminta calon permaisuri yang sudah datang memasuki kamar mereka.
Ruangannya luas dengan satu jendela besar yang memperlihatkan bagaimana keindahan istana di malam hari. Ranjang-ranjang sengaja ditata saling berhadapan, barang-barang yang tadi dibawa ditaruh pada almari khusus yang bertuliskan nama masing-masing.
Di saat yang lain menyibukkan diri dengan aktivitas sebelum tidur, Hinata justru memilih duduk di atas ranjang sembari menekuk kedua lututnya.
Dia merasa tak perlu membersihkan riasan atau menyiapkan gaun untuk besok. Wajahnya yang dipahat sempurna oleh Dewa, membuatnya beruntung karena memiliki paras yang cantik alami meski tanpa make up. Gaun yang dibawa pun tak banyak, dan semua sudah di-prepare untuk hari apa hingga seterusnya.
"Hmm ...."
Yang ada pikirannya tengah kalut sekarang. Benarkah, takdirnya menjadi bagian kekaisaran? Kalau dipikir-pikir, itu buruk sekali!
Hinata mengacak rambut
Dari tempat tidur, dia bisa melihat bagaimana kemegahan Istana Megapolina disangga oleh pilar-pilar besar nan tinggi dan memiliki delapan menara. Namun, keindahan itu fana. Tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang.
.
.
Lonceng-lonceng berdentang. Genderang ditabuh, bendera lambang kekaisaran berkibar gagah di berbagai sudut.
Balai pertemuan istana sudah diubah layaknya aula audisi. Sama hal the Os Blanc Castle tempat para putri menginap, balai ini juga kaya akan nuansa klasik khas arsitektur Kontinen Selatan; atap kubah, tiang-tiang beton, dinding-dinding berukir, yang paling mencolok ialah interior ruang yang memajang beberapa lukisan hewan.
Sejak pagi kursi-kursi di balai ini sudah dijajar rapi dua saf ke belakang. Sejak semburat keunguan membentang di tepi langit timur pula para putri telah berdandan cantik dan bergerak menuju istana melalui selasar yang menghubungkannya dengan kastel. Mereka menikmati jamuan makan pagi, baru kemudian digiring ke balai untuk menunggu perwakilan kekaisaran datang.
Begitu pintu berderit, para putri sadar hal tersebut merupakan alarm bagi jantung untuk bersiap.
Sambutan kali ini tidak disangka dilakukan langsung oleh permaisuri.
Langkah Yang Mulia Ratu Mikoto anggun membelah udara dingin di pagi itu. Meski sang baskara belum sepenggalah menunjukkan dirinya, kecantikan istri raja sama sekali tak pudar atau berkurang barang senoktah.
Dalam hatinya, Mikoto seolah diajak bernostalgia. Fragmentaris saling bertaut menuntunnya kembali ke masa dia menjadi bagian dari para putri ini.
Duduk dengan tangan gemetar menunggu namanya dipanggil, cemas sampai mengeluarkan keringat dingin, hingga rasa takut akan ditolak. Ingatan-ingatan kecil itu terus berarak, yang tanpa sadar menyusun garis senyum di bibir Mikoto.
Ah, waktu bergerak lebih cepat dari dugaannya. Anak kecil yang selalu memakai celana pendek dan cemberut ketika diminta latihan berkuda itu, kini sudah tumbuh dewasa dan siap memikul jabatan berat di bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wheel of Fortune
Fiksi PenggemarKeduanya bertemu saat kunjungan Hinata ke Azzard: sebuah desa yang indah di pegunungan Megapolina. Impresi pertama tak cukup baik. Bagaimana tidak, Naruto mengacungkan pedangnya pada Hinata. Dimulai dari tersesat di hutan hingga festival bunga tahun...