Bab 7

1K 152 19
                                    

"Lalu, sang pangeran berkata, bersembunyilah di belakangku, putri! Aku akan melindungimu ....

Sang putri pun bergegas lari ke belakang tubuh pangeran. Jubahnya berkibar, dia mengacungkan pedang yang tajam ke arah komplotan bandit."

Sepasang iris berma berkaca-kaca. Pantulan cahaya lilin berpendar di matanya yang jernih.

Dulu, acap kali sebelum tidur, Karin dibacakan sebuah dongeng. Khurafat tentang seorang putri dan tujuh kurcaci, tentang anak perempuan yang disiksa ibu tirinya lalu menikah dengan pangeran, tentang seorang putri cantik dan pangeran yang dikutuk menjadi monster, semua, kisah yang menceritakan ending bahagia bagi seorang putri.

"Kemudian, di kuil dewa mereka berjanji untuk sehidup dan semati. Nah, sekarang kau harus tidur, Putriku."

Dengan rasa bahagia, Karin menarik selimut tebalnya.

Sebuah awal yang tak disangka akan menggugah gairah seorang anak kecil untuk bisa menikah dengan seorang pangeran.

Obsesinya itu bahkan tumbuh sebelum Karin mendapat menstruasi pertama.

.

.

The Wheel of Fortune

.

.

Gemintang meninggalkan langit malam ini. Orion tak lagi berpijar, sebatas gelita dan deru angin yang membaur menjadi sunyi.

Langkahnya yang ringan—tanpa menimbulkan suara—berhasil membawanya menyeberang ke selasar kastel.

Kenapa dia tak diundang? Seharusnya 'kan, dia yang menjadi kandidat terkuat. Ini tak adil, gadis itu melempar penutup kepalanya ke lantai.

Menyadari melakukan hal bodoh, buru-buru Karin memungutnya kembali. Apa jadinya kalau dilihat para penjaga? Toh, tujuannya ke sini hanya ingin memperingatkan para putri jika dialah satu-satunya yang pantas menjadi permaisuri.

.

Karin diam-diam menuju belakang kastel. Pintu depan dijaga ketat para garda yang seakan tak kenal kantuk. Bayangkan, mereka berdiri di sana sejak surya tergelincir dan tak bergeser barang satu jengkal sampai sekarang.

Akses pintu samping adalah jalan buntu. Hampir semua pintu yang dia coba terkunci dan hanya akan menjadi kebodohan, bila dia berniat mendorong lempengan besi berukir itu menggunakan bahunya.

"Tidak bisa ... tidak bisa—tch!"

Karin memukul pintu terakhir yang dia coba. Bunyi besi ditumbuk menggema di telinganya, menjalar lebih cepat dari nyala api.

Karin nyaris tak perduli jika itu akan terdengar sampai penjaga depan. Kekesalannya membuncah seiring napasnya yang putus-putus menahan amarah.

"Sekali lagi, aku akan coba satu pintu lagi!"

.

.

.

Satu barangkali angka yang terlalu besar bagi Hinata. Antara 0 sampai 10, privilesenya adalah nol, atau tidak ada.

Jika dia memiliki pilihan itu, tak mungkin sekarang terjebak di ruang yang serupa kamar tahanan ini.

Napasnya yang lelah turun bersama dadanya yang ikut kembang kempis. Hinata sejauh ini berpikir betapa lugu gadis-gadis yang terbaring di ranjang sana. Padahal saat pemenang diumumkan, yang akan tersisa hanyalah pergunjingan dan rasa tidak pantas.

The Wheel of FortuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang