"... semua akan baik-baik saja, Putri."
Sasuke mendekatkan bibirnya. Dia tidak memperhatikan lagi apakah Hinata mendengarkannya, apakah dia masih menangis, atau justru terkejut oleh tindakannya yang impulsif
"Aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu."
Rahangnya mengendur, kelopak mata Sasuke perlahan-lahan mengatup. Tangannya membelai punggung Hinata, dia sempat tersenyum sebelum mendaratkan sebuah ciuman—seandainya, pintu kamar tersebut tak secara tiba-tiba terbuka.
"Pangeran—!" Seorang prajurit yang baru saja masuk langsung beringsut melihat bagaimana posisi Sasuke.
Jelas, atensi putra mahkota dan Hinata sontak teralih ke belakang.
Pipi prajurit itu memerah. Dia kentara gugup, terlebih saat Sasuke berdiri dengan raut wajah yang dingin dan kaku.
"Ada apa?"
Gemetaran prajurit itu ingin menjelaskan, "Ma-maaf atas kelancangan saya, Pangeran! Sa-saya harus menyampaikan ini. Raja—raja telah mangkat!"
Di saat yang sama, Sasuke mulai kehilangan rona di matanya.
.
Kakinya berdebum menghentak lantai keramik istana. Rasanya dia tak pernah lari sekencang ini hingga membuat seluruh bagian kakinya gemetaran.
Lengkingan kuat dari kamar raja menjelma pisau yang mengiris hatinya. Untuk pertama kali, setelah sekian lama, dia merasakan matanya panas, serta sudut pelupuknya basah.
Dari ambang pintu Sasuke melihat raut muram para petugas medis. Di sana, sang ibunda sudah kehilangan kesadaran dan dibopong beberapa orang.
Kakinya seperti tumbuhan yang haus akan air hujan. Dia layu, sesak mendera di dada sampai sulit mengambil napas.
"A-Ayahanda—!"
.
.
The Wheel of Fortune
.
.
Elegi menyambangi tanah ibu kota. Dari semalam mendung enggan sirna. Gemuruh sempat terdengar, kilatan petir melintas sesekali, namun tak dapat menggugurkan awan-awan itu.
Kabar kematian raja terbang lebih cepat dibanding dandelion kering yang terbawa angin. Di depan gerbang istana, jalanan yang telah diberi pembatas dipadati ratusan rakyat yang semuanya membawa bunga sebagai ungkapan dukacita.
Di sisi barikade, kereta-kereta kuda bergiliran memasuki halaman istana. Mereka adalah para dewan, sejumlah pejabat tinggi, juga relasi bangsawan yang tinggal tak jauh dari tempat ini.
Orang-orang yang turun semua mengenakan pakaian hitam. Hashirama yang baru tiba tak dapat menyembunyikan luka batinnya. Sang Penasihat Agung yang dikenal berwatak keras begitu terpukul. Dia berjalan tergesa, tanpa mengindahkan etiket-etiket di bahunya.
.
Panglima meletakkan setangkai bunga lili ke atas meja penghormatan terakhir. Siapa bilang pemuda itu tak bersedih? Naruto telah menganggap Fugaku sebagai ayah sambungnya. Di sisi lain, dia merasa gagal melindungi kehidupan raja. Rasanya, segala penghargaan yang tersemat, seluruh kemenangannya di medan perang menjadi tak berguna. Sebab, ia telah gagal melindungi sang raja di istananya sendiri. Walau kepastian penyebab meninggalnya raja belum ditentukan, isu itu sudah terlanjur berkembang seberingas api.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Wheel of Fortune
FanfictionKeduanya bertemu saat kunjungan Hinata ke Azzard: sebuah desa yang indah di pegunungan Megapolina. Impresi pertama tak cukup baik. Bagaimana tidak, Naruto mengacungkan pedangnya pada Hinata. Dimulai dari tersesat di hutan hingga festival bunga tahun...