Matanya mengerjap perlahan-lahan. Pemandangan pertama yang dilihat oleh iris ametisnya ialah kubah kaca di mana salju tampak berguguran tipis dari atas—bukan lagi air yang membuat matanya panas. Ini berarti, dia selamat?
"Kau sudah sadar?"
Mendengar suara itu Hinata berkedip, berusaha menajamkan indra pendengarannya.
"Kupikir kau akan mati."
Suara yang rendah itu lagi-lagi mengejutkan Hinata. Dia menoleh, dan menatap sosok tersebut dengan kaku.
"Ra-Ratu?"
"Hah, kau berhasil melewati ambang kematian rupanya."
Hinata menarik selimut di genggamannya. Dia sedikit khawatir mengingat hubungannya dengan wanita itu memburuk sejak isu dirinya menjadi pelaku pembunuhan raja.
Mikoto semakin mendekat, meninggalkan posisi awalnya di depan jendela kaca. Hal tersebut membuat Hinata ketakutan. Gadis itu beringsut ke belakang, tubuhnya tremor dan tentu, Mikoto menyadarinya.
"Aku sudah meminta pelayaan menyalakan briket, tapi kau masih kedinginan?" sindirnya secara halus.
Jelas, Hinata tak bisa mengungkapkan isi hatinya secara gamblang, atau perempuan paruh baya ini akan tersinggung, dan hubungan mereka kian bertambah buruk.
Hinata diam-diam mengatur ekspresinya—dengan beberapa gestur tubuh yang membuatnya terlihat lebih tenang.
"Ba-bagaimana bisa saya berada di kamar ini? Saya rasa ini bukan di paviliun."
Mikoto duduk persis di sampingnya, itu membuat napas Hinata seketika tercekat.
"Ya, kau ada di kamarku."
"Ka-kamar Ratu?"
"Aku melihatmu berbicara dengan Putri Shion di jembatan. Tapi, saat dia kembali, dia terlihat sangat panik. Kupikir telah terjadi sesuatu di antara kalian."
Hinata menelan ludah. Benar, wanita sialan itu baru saja menenggelamkannya. Di mana dia sekarang?
"Kalian bertengkar?"
"Ah, i-itu...."
"Putri Shion dan putraku berteman sejak kecil. Mereka sering bersama karena ayahnya seorang menteri yang sering mengunjungi istana. Shion dan pangeran sangat dekat seperti saudara."
"Aah, sa-saya sering mendengar kisah itu...."
Mikoto menautkan kedua tangan—menatap jendela di mana langit terus-menerus menurunkan salju.
Mikoto nyaris tidak memperhatikan penampilannya. Dahulu, Hinata sempat mengaguminya sebab dia terlihat sangat anggun dan begitu cantik. Representatif dari sosok ratu itu sendiri—perempuan yang paling diagungkan dalam sebuah negeri.
Satu sisi Hinata memang takut padanya, tapi di sisi lain, dia merasa kasihan sebab wanita itu terlihat cukup depresi.
"Putraku dulu sangat manis dan lembut. Dia satu-satunya harapan kami setelah kakaknya meninggalkan istana."
Hinata terkejut mendengar pernyataan itu. Bukan pada sikap Sasuke, tapi tentang putra mahkota lain yang disebutkan ibunya.
"Putra Mahkota memiliki seorang kakak?"
Senyum getir teruntai di antara sudut bibirnya yang mulai diwarnai kerutan. "Ini rahasia yang dikubur dalam-dalam oleh istana. Ayahmu kiranya tahu cerita ini, tapi generasimu pasti mengira pangeran adalah putra tunggal kami."
"..."
"Sekarang dia telah menjadi raja...." Mikoto menjeda, "apa kau ingin mendengar cerita mengenai calon suamimu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Wheel of Fortune
FanfictionKeduanya bertemu saat kunjungan Hinata ke Azzard: sebuah desa yang indah di pegunungan Megapolina. Impresi pertama tak cukup baik. Bagaimana tidak, Naruto mengacungkan pedangnya pada Hinata. Dimulai dari tersesat di hutan hingga festival bunga tahun...