Bab 4

1.1K 195 24
                                        

"Anda tak ingin bersulang sebagai upacara penyambutan Anda?"

Masih tak mengerti dengan pria di hadapannya ini. Dia selalu mengatakan hal-hal out of the box. Kalau tidak salah, dia juga menjabat sebagai Panglima Perang. Posisi yang cukup sentral bagi struktur kepemimpinan sebuah negara.

Menghadapi pria casanova Hinata harus menggunakan strategi. Setidaknya jangan terlihat seperti seekor kelinci di hadapan serigala yang lapar. Ia harus berbalik menyerang, atau memasang sikap defensif agar pemuda itu paham, bila tak semua wanita bisa diperlakukan dengan cara yang sama.

"Terima kasih, saya tidak menyangka akan bertemu Anda di tempat yang saya kira sepi."

Naruto meneguk minumannya sampai habis. Gelas yang telah kosong ia sisihkan di atas terali. Pemuda itu lalu memunggungi Hinata. Tangannya yang terbungkus armor mengambil teropong kecil dari sakunya.

"Keamanan negara ini adalah tanggung jawab saya. Akan sangat memalukan bila ada yang luput." Gayanya seolah sedang membidik buruan, mengarahkan teropong pada kereta kuda yang baru tiba di halaman.

Hinata pun meletakkan gelas mereka berdampingan. Dari balkon ini dia dapat melihat dengan jelas halaman istana. Bahkan, taman labirin yang sebelumnya tak ia sadari. Lumayan juga, ternyata pria ini penuh perhitungan.

"Mau mencoba?"

"Aku?"

Satu anggukan dan Naruto selangkah lebih dekat. Bahu mereka nyaris bergesek, membuat wangi maskulin tubuh pemuda itu tercium pekat saat Hinata mengambil napas.

Jarak yang kian terkikis membuat Hinata menyadari ia hanya sebahu lelaki itu. Tubuh Naruto tinggi dan gagah. Armor yang membalut tangan dan kakinya menunjukkan dia seorang kesatria. Apakah benar pria ini seusia dengannya? Hal macam apa yang telah dia lewati sampai bisa menjadi panglima di usia yang begitu muda?

"Fokuskan gambarnya, perbesar." Naruto  memasang teropong itu di depan mata Hinata. "Tidak begitu jelas?"

Hinata mengangguk.

Naruto bergeser lagi. Kali ini tubuhnya persis berada di belakang gadis itu. Betapa kecil Putri Hinata, pikirnya. Sekilas, Naruto menguntai senyum dan sedikit membungkukkan bahu. Dari belakang dia seolah tengah memeluk gadis itu, meski faktanya masih ada sekat sekitar lima belas senti yang tersisa.

"Malam membawa cahaya yang lebih gelap, tetapi menjanjikan pemandangan yang lebih indah."

Hinata menengadahkan kepala, menatap cakrawala yang sedikit mendung namun tak menghilangkan semua bintang yang ada.

"Anda harus mengatur ketajamannya sekitar 4–7 mm. Maaf, Anda harus memutarnya seperti ini." Hinata tak menyadari tangannya diraih dengan hati-hati. Begitu pelan, begitu nyaman, sampai sekat di antara mereka berkurang lagi lima senti.

Rambut lembut Hinata menyentuh dagunya. Naruto tidak terfokus dengan itu, ia lebih ingin menunjukkan apa yang bisa dilihat menggunakan benda kecil ini.

Tangan mereka tumpang tindih memegang teropong yang sama. Saat Hinata tersenyum, Naruto memilih melepaskan. Ia kembali mengambil jarak dengan berdiri di sisi kanan gadis itu.

"Bagimana? Apa yang Anda lihat?"

"Ah, saya baru tahu begini wujud bintang kalau dilihat lebih dekat. Saya kira benda itu hanya diam seperti titik putih pada kertas yang tertumpah tinta hitam. Ternyata bintang bisa berkedip ya?"

"Lalu?"

"Awan-awan berarak. Hei Awan, pergilah, kau menutupi mereka!" ujar Hinata setengah berteriak.

The Wheel of FortuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang