"Tidak biasanya Ayah memanggilku sepagi ini, ada sesuatu yang krusial?"
"Benar, tentang masa depan negara kita."
Sasuke berkedip cepat dua kali. Masa depan negara katanya?
"Hmm ... andaikan setiap pagi setelah bangun ayah bisa berjalan-jalan di desa melihat pemandangan hijau, ayah pasti bisa meninggal dalam damai."
"Ayah!"
Fugaku melirik putranya yang sama sekali tidak peka. Tangannya saling bertaut dengan siku bertumpu di meja. Guratan pada keningnya menunjukkan betapa setumpuk pekerjaan yang ada sudah tak layak bagi otak seusianya. Dia butuh penyegaran, ayolah, kenapa anak muda ini tidak paham juga?!
Dari meja, tangan keriput itu pindah ke seliri. Memegang lengan kursi, "Lihat mahkota di sana, kau tak ingin menyentuhnya?" Fugaku melanjutkan.
Putranya menoleh ke arah bingkai kaca yang membungkus sebuah mahkota emas simbol pemimpin tertinggi negeri ini. Mahkota bertakhtakan delapan berlian yang melambangkan delapan arah mata angin. Sasuke sungguh paham, tetapi ia tak ingin menunjukkan. Jika berniat menyentuh benda itu, artinya dia harus menjadi raja terlebih dulu.
Baginya hal ini terlalu cepat. Apalagi jika harus memiliki seorang permaisuri.
"Tadi Ayah berkata tentang masa depan negara, 'kan? Apa ada yang berniat mengambil mahkota itu?"
Tersulut rasa jengkel Fugaku mendengar jawaban putranya, "SASUKE!"
Dia tersentak,
"Oh, Dewa, bagaimana mungkin putra semata wayangku ini tetap ingin melihat ayahnya bekerja di usia yang begitu tua?"
"...?"
"Sasuke, kau harus menggantikan ayah! Negara ini butuh pemikiran-pemikiran segar supaya lebih berkembang. Pertahankan wilayah yang ada, perluas, jamin kesejahteraan rakyat, atur nilai pajak dan tingkatkan kepercayaan bangsawan pada istana. Ada banyak pekerjaan yang harus kau selesaikan!"
Sasuke mendesah. Iya betul dialah yang kelak memikul semua beban itu di bahunya, tetapi, apakah dia bisa maju tanpa seorang permaisuri? Sedang sekarang, dia tak lagi dekat dengan siapapun.
"Ayah—"
"Kau tidak perlu khawatir tentang itu. Ayah sudah menyiapkannya. Lusa ada sayembara untuk memilih permaisuri. Semuanya cantik, jadi tenang saja. Mereka juga datang dari keluarga terhormat. Kau tinggal melihatnya."
"Ayah memasuki wewenangku!" bantah Sasuke.
"Wewenangmu? Ayah adalah raja di negeri ini. Perintah raja absolut. Sementara kau hanya orang biasa yang kebetulan terlahir sebagai anak raja. Jika ingin wewenangmu absolut, maka rebut itu dari ayah. Kau harus menjadi raja, Nak."
Suasana pagi terasa panas, kontradiksi dengan langit yang membiarkan mendung berarak. Sasuke menatap ayahnya intens sebelum mengembus napas kecewa. Dia memilih undur diri. Penat sekali berada di sini.
"Baik, saya izin untuk mencari udara segar."
Fugaku menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar Sasuke berbicara formal—tanda pemuda itu tengah merajuk.
Biarlah, toh untuk masa depannya juga. Putranya harus menjadi orang yang berani. Dia ingin melihat ke mana bahtera ini dinahkodai. Namun, Fugaku tak pula tengah menggadaikan masa depan negaranya di tangan seorang bocah. Dia yakin putranya yg berjuluk 'keajaiban' itu pasti bisa melebihi dirinya.
.
.
Sasuke menyusuri geladeri istana yang menghubungkan antara paseban dengan atrium. Langkahnya bergas diikuti seorang ajudan membawakan jubah berbulunya yang tadi dia lepas sebelum memasuki ruang raja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wheel of Fortune
Fiksi PenggemarKeduanya bertemu saat kunjungan Hinata ke Azzard: sebuah desa yang indah di pegunungan Megapolina. Impresi pertama tak cukup baik. Bagaimana tidak, Naruto mengacungkan pedangnya pada Hinata. Dimulai dari tersesat di hutan hingga festival bunga tahun...