Semburat jingga di langit tetiba redup dihalau arakan awan hitam. Mendung menyembunyikan senja. Para penyihir yang telah mengepung Fureen Island khusyuk merapal mantra ghaib guna mengundang badai.
Pusaran awan hitam dengan kilat menyambar-nyambar muncul dari celah cakrawala. Membentuk corong kondensasi yang ujungnya menyentuh bumi, kian menyempit, dikelilingi gegana.
Itulah badai pulau pasir. Angin ribut menyapu dataran Fureen tanpa luput. Prajurit-prajurit musuh yang bersembunyi di antara tanaman nipah, satu demi satu tersedot sang bayu. Terisap ke dalam pusaran angin topan yang siap meremukkan tulang mereka.
Kian petang indra penglihatan akan berada di titik keterbatasan. Minimnya cahaya membuat retina sulit membedakan mana kawan, mana lawan. Hingga butir-butir salju berguguran dan suhu dingin mulai menjamahi kulit, perang masih belum menunjukkan isyarat usai.
Bukan sebatas prajurit Southpolia, nyatanya, alam beserta segala kondisinya turut menjadi musuh mereka.
.
Di bawah suhu minus 5° celcius tubuh manusia normal akan menggigil. Bila tidak mengenakan pakaian tebal, detak jantung secara otomatis berdenyut kian cepat disertai napas yang jadi pendek-pendek.
Entah apa yang dirasakan wanita penyihir itu sehingga pelipisnya terus dibanjiri peluh. Tidak turun mengangkat senjata bukan berarti tak merasa lelah secara fisik. Sebagai penyerang jarak jauh, Uzuki nyaris kewalahan menghadapi serangan musuh, sekaligus menyokong energi para kesatria agar tak kehabisan tenaga.
Beberapa penyihir di belakangnya ikut menyalurkan kekuatan, bentuk ikhtiar terakhir agar para prajurit mampu bertahan—setidaknya—sedikit lebih lama.
.
Dua mata pedang yang bertemu berdenting di bawah langit kelabu. Kilatan mesterius terpercik dari dua arah begitu dua pedang sakti saling bertabrakan.
Kilatan bak petir berwarna merah yang melesat ke langit, lalu menghunjam ke tanah, secara dahsyat menciptakan retakan pada sungai es di bawah kaki mereka.
Kala satu pihak gencar meluncurkan serangan, pihak lain otomatis menangkis. Improvisasi sesekali dilakukan guna membela diri. Menendang, memukul, menghantam, hingga bagaimana mengayunkan pedang. Semua kentara selaras bak sebuah kaca saling memantulkan refleksi masing-masing.
Mifune menggeram. Satu gerakan cepat nyaris memotong leher Naruto, andai pemuda pirang itu tak berhasil menghindarinya.
"Keberuntungan takkan memihakmu dua kali, Bocah!" Hardik Mifune, masih menyerang bertubi-tubi. Kecepatannya naik satu tingkat, kemahirannya memainkan pedang dikombinasi gerakan taijutsu sukses memojokkan sang jenderal dalam posisi terdesak.
Alih-alih terus bersikap defensif, Naruto memberi serangan balik. Dia melompat, menangkis serangan Mifune, menghunuskan durendal ke depan mata sang Panglima Southpolia.
"...?!"
Jarak yang tercipta antara ujung pedang miliknya dengan mata Mifune ialah jarak yang ada dalam hitungannya. Bukannya gagal mencabik lawan, tergetnya sejak awal memang dada kiri pria itu.
Satu tendangan hebat menggetarkan rongga dada Mifune. Dia terlempar sejauh 10 meter. Tubuhnya menghantam dataran es dengan keras.
Panglima Perang Megapolina kian menyudutkannya dengan terus merangsek—mengobrak-abrik pertahanan lawan. Sebutan prodigy bukanlah isapan jempol. Senyum di sudut bibir sang panglima spontan teruntai saat musuh masuk dalam fokus netranya. Kali ini, tua bangka itu tak bisa menghindar.
Mifune berguling begitu pedang Naruto disabetkan ke arahnya. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Durendal berkilat pelangi memercikkan darah dari lengan kiri sang pria tua. Belum sempat Mifune berdiri, Naruto kembali menebasnya—kali ini mengenai bahu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Wheel of Fortune
FanfictionKeduanya bertemu saat kunjungan Hinata ke Azzard: sebuah desa yang indah di pegunungan Megapolina. Impresi pertama tak cukup baik. Bagaimana tidak, Naruto mengacungkan pedangnya pada Hinata. Dimulai dari tersesat di hutan hingga festival bunga tahun...