8. Tragedi

5.2K 101 0
                                    

"Kostku kecil, jadi kalau kerja kelompok di tempat lain saja. Di tempat Zoe mungkin," tawar Ayuna dengan wajah yang panik, tetapi dia berusaha sembunyikan. Jangan sampai Zoe tahu kalau aku satu kost dengan kakak tingkat kami.

Zoe melihat perubahan wajah Ayuna yang panik, tetapi dia tidak terlalu banyak memikirkan hal itu. Zoe hanya tersenyum menatap Ayuna yang begitu lucu menyeruput tetesan terakhir es tehnya. "Kalau begitu, kapan-kapan kita jalan-jalan keluar ya?"

Ayuna yang mendengar ucapan Zoe tentang topik lain hanya mengangguk perlahan. "Okay!"

Hari menjelang sore, Ayuna baru pulang dari kampus. Dia sebenarnya sudah pulang siang tadi, tetapi tidak mau pulang cepat karena takut menemui Luca, dia benar-benar malas menghadapi pria itu. Lagi pula, dia berniat untuk mencari pekerjaan paruh waktu yang bisa dikerjakan pada sore sampai malam hari. Ayuna ingin mencari uang tambahan, kalau beruntung dengan gajinya itu ia akan berpindah tempat tinggal.

Setelah sampai ke kost, Ayuna berehat sejenak di kasur. Lalu tak lama kemudian, dia masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci beberapa bajunya yang sudah ia rendam seharian.

Setelah selesai menyuci, dia mulai berdiri dan membawa sanggan yang berisi pakaiannya itu ke atas atap untuk dijemur (meskipun hari sudah menjelang sore, minimal air dari pakaian itu mengering)

Namun, ada hal yang mengejutkan. Tiba-tiba kaki Ayuna terpeleset dan ia terduduk di kamar mandi. Dia berteriak kesakitan dan bahkan merasa kakinya sedang terseleo karena sangat sakit untuk digerakkan.

Luca yang baru saja pulang dari kampus mendengar teriakan Ayuna. Pada awalnya, dia tidak peduli karena jika ia melakukan itu akan dikenai denda (masuk ke dalam kamar mandi di jadwal yang salah; jadwal Ayuna) Namun, karena mendengar rintihan kesakitan dari gadis itu begitu lama ia dengan cepat berjalan ke arah tersebut dan mendapati Ayuna sudah terduduk di pantai kamar mandi sembari menangis tersedu-sedu.

Pria itu tidak banyak bertanya, dia hanya refleks membantu Ayuna dengan cepat. Pemuda itu mulai membopong gadis itu ke atas kasur secara perlahan dan berusaha untuk memeriksa kakinya itu. "Kamu terseleo, jangan terlalu banyak bergerak."

Ayuna sudah sangat lama menangis, matanya sembab. Dia tidak menyangka bahwa lantai kamar mandi itu begitu licin dan menyebabkan ia tergelincir.

Luca membawa beberapa minyak urut dan mengusapkan benda tersebut di daerah kaki Ayuna yang terasa sakit. Dia juga mulai mengerakkan kaki gadis itu untuk mengecek tingkat keseleonya separah apa.

Ayuna meringgis dan berteriak dia bahkan refleks memukul bahu Luca yang berada di di dekat lututnya. "Sakit!"

Luca mendengkus dan menatap Ayuna dengan tajam. "Mau bisa jalan lagi atau tidak?" ucapnya dengan bumbu ancaman padahal ia sudah mengetahui bahwa itu hanyalah keseleo yang ringan.

Saat mendengar itu Ayuna terdiam, tetapi tetap meringis karena sakit, dia mulai memerhatikan Luca yang sedang mengurut daerah kakinya yang sakit. Pria itu tampak begitu kompeten dalam membetulkan urat kakinya yang salah dan membuat jantung gadis itu kembali berdegup kencang.

Tanpa sengaja juga, dia memerhatikan bibir pria itu. Ayuna mengingat ciuman sangat mereka saat melakukan ospek dan hal itu membuat pipinya mulai memerah, gadis itu  malah membayangkan bagaimana jika mereka berciuman lagi di sana dan melakukan hal yang lebih?

Luca sudah menyelesaikan pekerjaanya lalu menatap Ayuna yang sedang melamun dan mengkhayal. Pria itu tampak kebingungan dia langsung berdiri dan berkata. "Sudah, jangan banyak bergerak dan kamu jangan kuliah untuk beberapa hari."

Ayuna tiba-tiba tersadar karena ucapan Luca, dia menjawab sembari mendongak menatap Luca. "Aku tidak bisa melewatkan kelas walau sehari!"

Luca menunjuk kaki Ayuna dengan wejangan mirip dokter. "Meskipun sekarang kakimu itu hanya mengalami keseleo ringan, tapi kamu jika memaksakan untuk berjalan, kakimu akan mengalami keseleo parah."

Gadis itu membuang muka dan mengikuti ucapan Luca dengan nada mengejek dan tidak bersuara.

Luca merasa diremehkan saat Ayuna bertingkah seperti itu. "Namun, terserah saja kalau kamu ingin kuliah dengan kaki seperti itu! Lagipula bukan urusanku!" Luca berkata seperti itu sembari meninggalkan tempat tersebut menuju ke arah samping di mana tempat tidurnya berada.

Setelah mengalami keseleo, Ayuna tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa dengan baik. Dia ingin melangkah secara perlahan, tetapi kakinya terasa sakit jika diinjakan ke lantai. Gadis itu merasa pasrah dengan keadaanya dan duduk di kasur sembari mengharap keajaiban akan datang. "Aduh, malah lapar lagi!" ucapnya sembari mengusap perut yang sudah berbunyi.

Ayuna yang mulai lapar hanya bisa menahan sembari menatap kulkas yang hanya berjarak 5 meter darinya. Namun, karena dengan kondisi kaki seperti itu, jaraknya terasa seperti 5 km. "Ayah, Ibu. Ayuna rindu!" ucapnya sesaat mengingat orangtuanya yang selalu ada di saat ia sakit.

"Berisik sekali!" Luca yang sedang belajar di samping langsung berjalan ke arah Ayuna dan membuka tirai sembari menatap gadis itu dengan tatapan tanpa ekspresi. "Cepat katakan, kamu mau apa?"

Ayuna yang sedang berbaring di kasurnya hanya menoleh sekilas Luca dengan tatapan sinis juga. "Tidak ada, aku tidak mau apa-apa!" Gadis itu menginginkan sesuatu, tetapi dia merasa gengsi.

Luca yang mendengar itu langsung berjalan ke kulkas dan mencari beberapa bahan makanan miliknya, lalu dia pergi ke dapur untuk memasak sesuatu; spagetti.

Ayuna memegang perutnya sekilas karena merasa lebih lapar saat mencium aroma masakan yang dibuat oleh Luca. Dia masak untuk aku atau tidak? Baik juga ternyata pemuda ini. Gadis itu membatin sesaat sembari melihat punggung Luca yang sedang sibuk di dapur.

Tak lama kemudian, pria itu selesai memasak dan membawa sepiring spagetti-nya ke tempat ia belajar lalu makan di sana.

Ayuna yang salah mengira bahwa pria itu memasak untuknya hanya bisa pasrah dengan mengingat ucapannya tadi. Yuna, kamu tidak mati hanya karena tidak makan sehari!

Gadis itu mulai menghela napas panjang dan mulai untuk melangkah lagi. Dia berusaha keras untuk berjalan ke arah kulkas. "Akhirnya, aku bisa! " Setelah berhasil berjalan dia membuka benda tersebut untuk mencari telur dan memasaknya. Namun, dia masih memiliki tantangan untuk memasak telur dan dapur berjarak 3 meter darinya. "Aku pasti bisa!"

Tiba-tiba rasa sakit semakin menyerang kaki Ayuna dan gadis itu terduduk sembari menjatuhkan telur miliknya ke lantai. "Sial, mana itu telur terakhir!"

"Gadis ini benar-benar!" Luca berjalan kembali dan menatap Ayuna yang sedang terduduk di lantai dengan geram. "Masih juga keras kepala tidak mau meminta bantuan apapun padaku?"

Ayuna yang sudah pasrah mulai menatap Luca dengan sedih. Tiba-tiba dia menangis karena sudah tidak bisa menahan emosinya yang campur aduk.

Luca terkejut karena Ayuna menangis tiba-tiba. Dia merasa iba melihat gadis itu tidak bisa melakukan apapun dengan kondisi kaki seperti itu. Pemuda itu mulai melunak dan membantu Ayuna kembali dan membawanya ke kasur kembali. "Jika ingin sesuatu katakan dengan jujur! Gengsi tidak membuatmu kenyang!" ujar pria itu beranjak ke dapur lagi mengambil spagetti sisanya tadi dan memberikan sepiring kepada gadis itu.

Ayuna masih menangis, dia mengambil makanan yang ditawarkan oleh Luca dan memakannya sembari tersedu-sedu.

Luca menatap Ayuna dengan datar. "Sudahlah, berhenti menangis dan habiskan makanannya. Aku benar-benar tidak fokus belajar kalau kamu terus menangis seperti ini!"

Ayuna berusaha menghentikan tangisannya lalu melanjutkan makannya dengan lahap. "Iya, maafkan aku."

Luca refleks mengambil tisu yang tak jauh dari kasur Ayuna dan menyeka sisa air mata gadis itu tanpa di suruh.

Ayuna yang tidak menyangka hal itu akan terjadi tiba-tiba mematung dan menghentikan makannya. Sekarang dia hanya fokus terhadap Luca yang menyeka airnatanya itu. Pria ini selalu membuatku degdegan.

Vote woy🐊

ROOMMATE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang