12. Kenyataan

3.5K 86 1
                                    

Seminggu berlalu dengan cepat, terlihat Luca sedang beristirahat dengan tenang di sebuah ruangan yang masih tidak diketahui dimana tempat itu berada. Dia terlihat menikmati istirahatnya dengan mata terpejam, bersandar di sebuah sofa dengan kedua tangan yang dibentangkan di pangkal sofa.

"Aku tidak mengerti dengan dirimu, padahal kamu punya rumah dan bahkan sebuah kost untuk tinggal, tapi mengapa kamu malah menginap di tempatku?" ucap seorang pria yang terlihat seumuran dengannya.

Luca tidak menjawab pertanyaan pria mudah itu dan hanya menyilangkan kedua tangannya dibahu.

"Sampai kapan kamu akan move on dari kakakku?" tanya pria itu lagi.

Luca membuka mata dan menghela napas panjang sebelum memandang pria itu dengan tatapan serius. "Aku tidak berencana untuk move on darinya, mengapa kamu begitu cerewet?"

Pemuda itu mengeleng perlahan sebelum menghela napas panjang. Dia berbicara sembari bersandar di dinding dengan kedua tangan dilipat di dada. "Sudahlah Luca, jika kamu malah berprinsip seperti itu bukannya akan menyakiti diri sendiri?"

Tiba-tiba di tengah percakapan mereka, terdengar bunyi deringan ponsel milik Luca dan dengan cepat pria itu membuka isi ponselnya. Ada sebuah pesan singkat yang membuat pupil mata Luca sedikit membesar.

"Kenapa?" tanya pemuda itu.

"Aku harus pergi, ada urusan mendadak!" ucap Luca dengan cepat beranjak dari sofa dan mengambil kunci motornya.

Luca dengan cepat pergi menuju ke suatu tempat dengan mengunakan motornya. Raut wajahnya terlihat khawatir sekali, seperti ada suatu hal yang membuatnya begitu.

Tak lama kemudian, ia sampai di depan sebuah rumah besar. Luca berlari ke dalam rumah dan mulai mencari seseorang.

Dia disambut oleh para pelayan di sana, mereka terlihat begitu hormat dengan Luca. "Dimana ibu?!" teriak Luca sembari menguncang-guncang baju pelayan pria yang terlihat seperti sudah senior.

"Nyonya ada di kamar, Tuan." Pria pelayan itu pun menunjukan kamar di mana tempat ibunya berada.

Luca dengan cepat berlari ke kamar dan masuk ke dalam dan mencari sang ibu.

Sang ibu yang tengah berbaring istirahat mulai terbangun saat mendengar suara anaknya dan langsung membentangkan tangan saat Luca mendekati dirinya.

"Apakah Ibu baik-baik saia?" tanya Luca khawatir. "Bagian tubuh mana saja yang terasa sakit?" tanyanya lagi sembari memeriksa tubuh sang ibu dengan panik.

Sang ibu pun tertawa melihat tingkah Luca yang seperti itu. "Ibu baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan."

"Sial, aku ditipu!" Luca menghela napas panjang sembari memegang kepala yang sakit. "Susah Luca katakan, jangan melakukan pekerjaan berat dan beristirahatlah dengan cukup!" perintah sang anak.

Sang ibu pun tertawa kecil saat mendengar semua ucapan Luca. "Kalau mereka tidak berbohong, kamu tidak akan mau pulang ke rumah."

Luca membuang muka dan terlihat seperti sedang merajuk, dia menunjukan sisi manjanya kepada sang ibu. "Namun, tetap saja!"

Ibunya tersenyum kecil sembari membentangkan kedua tangan kembali. "Ah, sudahlah. Sini peluk Ibu, ibu sangat rindu denganmu, Nak. Apakabar? Lancar kuliahnya?"

Luca membalas pelukan ibunya dengan anggukan pelan. "Baik, semua lancar."

Sang ibu melepas pelukan lalu mengenggam erat kedua tangan anaknya. "Menginaplah untuk beberapa hari di sini, Nak. Ibu masih rindu denganmu."

Luca mengeleng sekilas dan menunjukan wajah tanpa ekspresi. "Aku tidak ingin bertemu dengan ayah."

"Setidaknya makanlah terlebih dahulu," ujar sang ibu dengan suara lembutnya.

Kedua orang tersebut melepas kerinduan dengan saling berbicara satu sama lain dengan waktu yang lama. Tak sadar, hari sudah menjelang malam dan Luca memutuskan untuk pulang ke kost.

Setelah berpamitan dengan sang ibu, dia keluar dari kamar dan berjalan menuju ke ruang tamu. Tak disangka, seseorang yang tidak ia inginkan duduk di kursi ruang tamu dan mulai mengeluarkan suara. "Ingat pulang juga, kukira sudah memutuskan hubungan dengan keluarga?"

Luca tidak berucap sepatah katapun, dia melanjutkan langkahnya.

Sang ayah berucap kembali setelah meneguk segelas kopinya. "Bagaimana dengan kuliah dan jurusan konyolmu itu apa berjalan lancar? Kalau iya, selamat. Kamu bisa juga hidup tanpa uangku."

Luca menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangan ke arah ayahnya dengan tatapan ketus. "Aku bukan anak manja seperti yang Ayah pikir, Aku bisa hidup tanpa bantuan siapapun!"

"Oh, iya?" Sang ayah tertawa mendengar perkataan Luca, dia mulai menyilangkan kedua kakinya lalu melipat kedua tangan di depan dada.

"Kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, saya pamit." Luca melanjutkan langkahnya ke arah pintu tanpa mengeluarkan ekspresi apapun.

"Kalau aku tahu dari awal hanya membesarkan anak kurang ajar sepertimu, aku akan membunuhmu saja."

"Kalau begitu, bunuh saja. Mengapa hal mudah dibuat sulit?" Luca berucap sejenak sebelum berhasil ke luar dari rumah itu. Dia berjalan cepat menuju motornya dan pergi dari sana.

Sebelumnya, alasan Luca sangat membenci sang ayah karena ia curiga akan kematian mantannya. Mantannya meninggal di dalam kecelakaan tunggal yang masih tidak diketahui pasti siapa yang menabraknya; pelaku lari dan tidak dapat ditemukan sampai sekarang.

Pelaku seperti sedang dilindungi oleh orang yang berkuasa dan ia curiga dengan sang ayah yang tidak ingin sang anak menikah dengan mendiang mantannya.

Ayah Luca berniat untuk menikahkan Luca dengan anak sahabatnya, alasan klise orang kaya; mereka ingin memperkuat kekuasaan dalam perusahaan.

Luca menolak tegas karena dia begitu mencintai Monika; mantannya yang sudah meninggal kecelakaan dua tahun yang lalu.

Maka dari itu, Luca memilih untuk keluar dari rumah dan kuliah kedokteran dengan uangnya sendiri. Sang ayah juga tidak menyetujui jurusan yang Luca ambil karena ia ingin anaknya mewarisi pekerjaannya sebagai pemimpin perusahaan. Ini alasan klise, tetapi cukup membuat Luca merasa muak.

Tak disangka, ditengah perjalanan. Hujan mulai menguyur dan membasahi tubuh Luca. Ia menaikkan kecepatan motor; sudah tidak peduli dengan keadaannya sekarang ini.

Sampai di kost, dia ingin membuka pintu tersebut, tetapi tidak menemukan kunci miliknya. Dengan perasaan dan pikiran yang kacau, Luca yang sedang basah kuyup mulai mengetuk pintu berharap Ayuna akan membukakannya pintu.

Ayuna yang berada baru saja pulang dari tempatnya bekerja merasa kebingungan; dia baru menganti pakaian. Siapa yang datang ke ke sini malam-malam seperti ini? Ia mulai membatin.

Namun, ketukan pintu terus terdengar dan membuat Ayuna risih sekaligus mengira bahwa itu merupakan pemilik kost yang ingin menagih biaya kost. "Apakah sudah jatuh tempo? Kurasa masih ada seminggu lagi," ucap Ayuna sembari berjalan dengan bingung ke arah pintu.

Dalam hitungan detik, dia membuka pintu dan melihat Luca yang sedang basah kuyup di depan pintu. "Astaga, kukira siapa?!"

Luca menatap Ayuna dengan tatapan sendu, matanya merah; entah karena menangis atau terkena air hujan.

Ayuna tidak bereaksi brlebihan. Dia sudah mengerti dengan tingkah Luca seperti itu, gadis itu perlahan berbalik untuk beranjak kembali ke kasurnya. "Padahal dia punya kunci sendiri, mengapa mengetuk pintu seolah-olah seperti orang asing?"

Tiba-tiba hal mengejutkan terjadi, Luca memeluk erat tubuh Ayuna dari belakang. Pemuda itu tidak peduli dengan keadaannya yang basah kuyup.

"Aduh, astaga!" Ayuna yang sembari memiliki detak jantung normal mulai berpacu dengan cepat, dia mulai berpikir keras mengapa Luca bertingkah seperti itu. "Hei, apakah kamu mabuk lagi?"

.
.
.
.
.
Vote lah, sayang🙃

ROOMMATE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang