"Penerimaan."
. . . . .Kening Renja berkeryit nyeri ketika ia mencoba untuk menyandarkan punggungnya pada ranjang.
Nadi yang sedang duduk disebelahnya langsung menaruh buah apel yang sedang dipotongnya dan menghentikan omelannya untuk membantu Renja.
"Gak papa ini emang lo duduk?" tanyanya khawatir.
"Punggung gue pegel." Saut Renja. Satu tangannya masih memegang area perutnya yang sakitnya paling terasa. Ngilu, hanya ia masih begitu bersyukur Haira ternyata tidak nekat membunuhnya. Disampingnya, Nadi kembali mengomel. Kalau saja rasa sakit dan ngilu sedang tidak mendera seluruh badannya. Rasanya ingin sekali Renja menyumpal mulut temannya itu dengan buah apel.
"Najis banget gue. Cewek gila! Cuma karena laki-laki sampe segitunya. Kayak laki-laki cuma Gala doang di dunia ini." Nadi masih saja sewot. Namun, meskipun begitu satu tangannya dengan telaten menyuapkan buah apel yang sudah ia potong kecil-kecil kepada Renja.
"Bener-bener gua nggak habis pikir Ren." Ujarnya, "manusia rugi! Diberi kesempatan buat hidup, kerjaannya malah nyakitin orang lain." Imbuh Nadi. Ditempatnya Renja hanya diam mendengarkan.
"Beruntung lo cepet sadar. Kalau nggak, gue bakal samperin tuh anak dakjal buat gue timpuk balik pake balok. Gue tusuk perutnya pake linggis. Biar deh mati sekalian. Lumayan beban bumi berkurang satu." Tegasnya. Pandanga matanya kemudian beralih kepada Renja ketika satupun ucapannya tidak ada yang Renja tanggapi.
"Diem aja lo. Jangan bilang lo udah maafin dia?" tanya Nadi. Kedua matanya menyipit, mendadak sinis.
"Jangankan buat nanggepin semua ocehan lo Nad, buat napas aja perut gue sakit." Terangnya malas.
Tepat ketika Renja selesai mengucapkan kalimatnya, pintu ruangannya terbuka memperlihatkan kedatangan Yunita bersama Zea dan juga anaknya, lalu di susul Papahnya dibelakang mereka.
Ditempatnya Nadi langsung menyadari posisinya sehingga perempuan itu kemudian pamit undur diri setelah menyapa Tante Yunita dan Om Wira.
"Nak Nadi, boleh minta tolong sekalian ajak main Zea sama Shaga?" tanya Yunita. Meski sempat bingung Nadi kemudian mengangguk tanpa bertanya apapun.
"Ayo anak-anak ikut Aunty, kayaknya enak nih siang-siang makan es krim. Iya kan?" tanyanya yang langsung disetujui oleh kedua bocah tersebut. Dengan senyum lebar, Nadi langsung meraih kedua tangan mungil itu masing-masing tangannya. Lalu dengan mulutnya yang kembali berbicara, ketiganya sudah berlalu pergi dengan meninggalkan ruangan rawat inap yang mendadak hening.
Wira dengan tubuhnya yang ringkih kemudian membawa badannya untuk duduk di sofa depan ranjang Renja. Sedangkan Yunita mendudukan dirinya di kursih yang dimana Nadi duduki tadi.
Mereka masih bungkam. Hanya, tangannya Yunita yang sudah nampak keriput itu dengan ragu dan sangat pelan mengusap kepala Renja yang dililit perban.
"Dokter bilang apa?"
"Gak papa. Lukanya nggak begitu parah. Hanya perlu waktu beberapa minggu untuk lukanya kering."
Mendengar jawaban Renja, Yunita tersenyum getir. Air mata sudah merebak di kedua mataya yang entah sejak kapan tatapannya begitu teduh menatap Renja.
"Itu pasti sakit sekali." Ucapnya merujuk pada luka di kepala dan perut Renja.
Renja diam. Hanya matanya sesekali melirik kearah sang Papah yang justru terlihat seperti tengah memberikan waktu untuk keduanya berbicara.
"Mamah sudah mendengar semua ceritanya." Yunita sejenak menjeda ucapanya. "Maaf, karena kamu kembali terluka." Lirihnya. "Mamah benar-benar tidak tahu harus berbicara apa." Imbuhnya, nadanya terdengar begitu putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang Belum Usai (Lengkap) ✓
RomanceSequel Eshal Renjana 7 tahun berlalu, Renja sepenuhnya sudah melupakan kesakitannya di masa lalu. Baginya tidak ada kenangan yang layak untuk diingat. Hidupnya sudah bahagia bersama seorang anak laki-laki yang Tuhan kirim untuk menjaganya. Setidakn...