Raya pikir ia hanya manusia tidak berguna yang hanya hidup untuk memenuhi populasi manusia, tapi apa ini? Sejak kapan manusia mempunyai kekuatan diluar nalar seperti ini? Apa memang dari awal manusia mempunyai kekuatan semacam ini. Program Kelas Ung...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mereka sampai di sekolah tanpa luka besar, kecuali Jo yang langsung pingsan begitu sampai.
Nadin yang melihat mereka kembali langsung membawa Jo ke brankar di bantu oleh Luca.
Menatap mereka satu persatu.
"Loh, mana Nora? Rui?" Tanya Nadin dengan senyuman.
Terdiam, tidak ada yang menjawab.
Melihat keterdiaman mereka, Nadin merasakan perasaan tidak enak. Berusaha tetap tersenyum.
"Jawab, mereka mana," Desaknya.
Luca ingin angkat bicara tapi di tahan oleh Ringgo. "Biar gue aja, lo istirahat."
Luca mengangguk. Menidurkan dirinya di salah satu brankar UKS.
Ringgo mengajak Nadin untuk duduk. Mencoba menjelaskannya, walau ia pun tidak kuat.
"Nora, sorry kita gak berhasil bawa dia. Sampe sana kita bahkan gak ketemu dia, gak ngerasain keberadaan dia di sana, kita gagal selametin dia, untuk pertama kalinya."
Nadin tertawa lirih, "Bohong kan."
Nadin mulai terisak. Nora satu-satunya teman perempuan yang ia miliki.
Satu-satunya gadis berhati lembut yang mau berteman dengan gadis berisik sepertinya. Mendengarkan segala keluh kesahnya. Memasak bersama, tertawa bersama, menjahili teman laki-laki mereka, bergosip ria.
Ringgo mengusap bahu Nadin, berusaha menenangkannya.
Nadin menarik napasnya, "Rui, mana? Dia gak di tangkep juga kan."
Ringgo menggigit bibirnya, tidak kuat untuk mengatakannya.
"Dia khianatin kita." Itu Jeffery yang menjawab.
Matanya terbelak, tertawa tidak percaya.
"Mana mungkin? Lagi pada nge prank gue ya lo pada."
Diam, mereka semua terdiam dengan tatapan kosong. Tidak ada yang berniat menjawab.
Air mata mulai meluncur lagi dari matanya. Lebih deras. Bagaimana mungkin? Tidak mungkin kan, iya kan.
Tolong siapapun bilang bahwa ini tidak benar. Menatap Luca yang terbaring membelakangi mereka. Bahunya bergetar.
Mereka tau, Luca lah orang yang pasti sangat merasa terkhianati. Orang yang Luca anggap sebagai adik sendiri. Bisa-bisanya Rui melakukan hal itu.
Luca, menahan isak tangisnya sekuat tenaga, tidak ada yang boleh tau bahwa ia menangis. Ia harus tetap terlihat tegar, tidak boleh menangis.
Di khianati oleh orang yang paling kau percaya itu sangat menyakitkan, melebihi apapun.
"Luca, gak papa nangis aja. Gak usah di tahan, lo juga manusia, nangis gak bikin lo jadi lemah," Ujar Nadin dengan isakannya.
Tangisan Luca pecah, tangisan mereka pecah. Mereka kehilangan arah. Professor mereka hilang tanpa jejak, teman mereka di culik, teman yang satu lagi penghianat.
***
Nadin menceritakan kisah mereka dulu dengan senyum simpul dan air mata yang terus berjatuhan.
"Yah, sorry gue ceritanya jadi merembet kemana-mana. Cuma pengen kalian tau kalo kita bener-bener bukan orang jahat."
Hening, tidak ada yang menjawab.
Nadin melihat mereka satu-persatu. Sama dengannya, air mata mereka juga berjatuhan.
"Kenapa nangis? Gak papa kali udah lewat juga," Ujar Nadin berusaha tegar.
Melihat kesamping kanan nya, Jo yang menangis dengan meraung-raung.
"Ck, lo kenapa malah jadi ikut nangis juga sih."
"Kalo di inget-inget dulu tuh sakit banget ya."
"Udah lah gak usah di inget-inget, bikin tambah sakit aja."
"Oh iya, soal map itu kita dapet nyuri dari ruang pak Yudas."
"Kita simpen di brankas ini, karena ini brankas nya Gana, Nora pacar Gana. Jadi kita berharap Gana bisa liat kondisi pacarnya sendiri dengan mata kepalanya sendiri." Jo menjelaskan.
"Tapi pak Gana gak masuk sampe besok."
"Yah, wajar aja. Besok tanggal Nora ulang tahun. Pasti dia mau ngerayain ulang tahun Nora. Di tempat mereka dulu."
"Wait—jadi pak Yudas kemungkinan salah satu dari mereka?" Tanya Raya.
Tatapan Nadin menajam. "Iya. Kita selalu mantau dia, dan dia selalu ketemu sama Rui."
"Apa pak Gana tau?"
Jo dan Nadin bertatapan. "Dia gak percaya sama kita, dia kira kita gak peduli dan gak berusaha untuk selametin Nora."
"Jadi pak Gana salah paham." Guman Ender.
"Dan profesor, sebulan kemudian dia di nyatain kecelakaan. Tapi enggak." Nadin menatap mata Raya.
"Profesor di bunuh sama mereka, Raya. Ayah kamu."
Raya terkesiap, ayahnya di bunuh?
Menunduk, menyembunyikan air matanya yang menetes, tidak ingin di anggap lemah karena menangis.
Apa lagi ini? Kenapa semuanya begitu abu-abu bagi Raya.