Persimpangan

16 3 7
                                    

Aruna berdiri di ujung lorong, menyederkan kedua lengannya ke dinding balkon lantai dua kampusnya. Arah matanya ke bawah melihat dua ekor anak kucing yang tengah bermain dengan daun yang berguguran. Rambut Aruna yang hari ini tak diikat terkibaskan angin pelan dan sedikit menghalagi pandangannya. Ia sematkan beberapa rambutnya di belakang telinganya tanpa mengalihkan tatapannya pada dua anak kucing yang sekarang malah saling memeluk dan berguling-guling.

"Gemes" Ucap seseorang tiba-tiba yang tanpa sadar sudah ada di sebelah Aruna.

Aruna dengan reflek menolehkan pandangannya pada sosok disebelahnya. Dilihatnya laki-laki dengan rambut selegam malam dan kulit kecoklatan bak pasir pantai. Rambutnya masih sedikit basah, Aruna bisa tebak orang disebelahnya baru saja mencuci rambutnya karena saat ini angin yang berhembus mengantarkan aroma shampoo yang tercium maskulin dengan aksen mint ke penciuman Aruna. Tengkuk leher yang Aruna hafal bersih dan jenjang itu rasanya ingin ia rengkuh ke pelukannya dan membubuhkan sedikit ciuman disana. Garis wajah yang ia puja-puja itu saat ini membuat Aruna tenggelam dan mabuk. Rasanya ia ingin selamanya seperti ini.

"Hei" ucap Aaron menepuk lengan Aruna pelan.

"Eh m-maaf Kak. Kakak tadi bilang apa?"

"Gemes" ucap Aaron dengan senyum dari bibir yang terlihat manis.

Siapapun saja tolong kutuk Aruna sekarang karena yang ada dipikiran dia saat ini hanya bagaimana caranya bibir manis itu bisa mengecup wajah Aruna mulai dari kening, lalu turun ke kelopak matanya, turun lagi ke kedua pipinya, kemudian hidungnya, dan kemudian turun ke-

'AAAAAAA MIKIR APAAN SIH GUE' ya bisa ditebak itu suara teriakan hati siapa barusan. Wajah Aruna merona amat merah karena imajinasinya saat ini.

"Gemes banget kan tuh" ucap Aaron melanjutkan kalimatnya dan menujuk ke bawah, ke arah dua anak kucing yang Aruna tadi pandangi.

"Ah iya Kak gemes ya haha" kecewa benar-benar Aruna rasakan. Ia kira dirinya tadi yang dipuji Aaron, ternyata yang dipuji malah dua makhluk kecil itu.

"Lo juga gak kalah gemes kok" lanjut Aaron.

Bisa ditebak bagaimana Aruna saat ini. Meledak, rasanya hatinya ingin meledak mendengar kalimat pujian itu. Yang Aruna ingin lakukan saat ini hanya melambai ke kamera karena jujur dia sudah tak kuat.

"Eh Runa sorry gue boleh pinjem catetan lo gak? Gue akhir-akhir ini males nyatet. Dosennya sih kalo ngomong kaya kumur-kumur, mana ngerti gue. Boleh gak?"

"B-boleh banget kok Kak. Tunggu ya gue ambilin dulu" ucapku kemudian meraih isi tasku. Kuberikan catatanku pada tangan Aaron yang menegadah.

"Thanks ya Runa. Gue balikin besok kalo enggak lusa ya, gapapa kan?"

"Gapapa kok Kak, santai aja"

"Okedeh. Tengkyu ya Runa. Eh sorry gue duluan ya ini temen gue ada yang nyariin" ucap Aaron setelah mengecek ponsel pintarnya sebentar kemudian pamit dari pandanganku. Aku memperhatikan punggung tinggi nan lebar itu yang berjalan menjauh.

🍒

Aruna saat ini sedang sibuk dengan catatannya. Berusaha dengan cepat-cepat menyalin apa yang dosennya tulis di depan karena dia sudah hafal dengan dosennya yang satu itu yang terbiasa setelah menulis langsung menghapus papan tulis. Katanya sih itu cara agar mahasiswa hanya berfokus pada mencatat dan mendengarkan bukan malah bermain ponsel atau bercanda dengan kawan-kawannya. Tapi apalah daya Aruna, tangannya kini benar-benar sudah kelelahan. Bagaimana tidak lelah, ini adalah mata kuliah ketiga yang Aruna hadiri hari ini jadi wajar saja dia sudah tak bisa memfokuskan diri karena badannya yang lelah. Suara yang dalam dan tenang bak lautan itu memecah lelah Aruna. Dia menolehkan pandangannya berusaha mencari-cari sang pemilik suara. Dan disitulah dia, berjalan melewati kelas Aruna sambil mengobrol dengan kawan-kawannya. Gading dengan lesung yang pipi khasnya membuat Aruna menatapnya lekat-lekat. memperhatikan tiap gerak gerik sang pria dari balik jendela kelasnya. Rasanya waktu seperti melambat saat Gading ada di pandangan matanya. Memorinya kembali pada bagaimana Gading memperlakukan Aruna dan membuatnya senantiasa bahagia. Tanpa ada tatap yang jatuh pada Aruna dari Gading saat ini namun hangat masih saja memeluk Aruna dengan erat. Entah mengapa eksistensi Gading selalu menghangatkan hati Aruna. Tak puas Aruna memandangi Gading namun sosok itu sudah hilang berjalan menjauh. Aruna menundukkan wajahnya menatap catatannya dan isi kepalanya saat ini tengah melayang jauh. Aruna memikirkan sebenarnya laki-laki mana yang ia sukai. Si Aaron dengan wajah tampan yang menyilaukan itu atau dengan Gading yang setiap perilakunya membuat Aruna merasa istimewa. Aruna tenggelam dalam kontemplasinya dan berujung terjebak dalam lubang kebingungan. Pikirannya terbelah, bak melihat dua jalan bercabang Aruna merutuk kebingungannya saat ini. Di jalan yang satu ada sosok Aaron namun untuk melangkahkan jalan ke arah situ Aruna dicegat oleh pertanyaan akankah Aaron akan mencintainya layaknya Aruna mencintai Aaron selama beberapa tahun ini. Ketakutan seperti ingin menerkam Aruna. Memang Aaron adalah pujaan hati Aruna yang menurutnya amat sangat sempurna, tapi itu tidak menjamin bahwa Aaron akan mencintainya balik. Kemudian di jalan yang satu lagi ada sosok Gading dan lagi-lagi ia dicegat dengan sebuah pertanyaan, benarkah seluruh perlakuan Gading selama ini adalah karena dia mencintainya atau hanya ingin main-main saja. Aruna tak ingin jadi seorang gadis yang termakan oleh kepercayaan dirinya sendiri dan berakhir dengan patah hati. Ia takut bahwa Gading hanya bersikap baik padanya, tidak lebih. Lagipula ia merasa Gading dan Aruna masih belum kenal lama. Kini kepalanya benar-benar penuh dan berisik sekali. Aruna makin tenggelam dalam teluk kontemplasinya.

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang