Ayat 18

19 8 0
                                    

Bismillah.

Maaf, aku lupa buat update karena beberapa hari belakangan lumayan hectic 🥺

Tapi, adakah yang kangen sama Ben dan Ara?

IG : @windiisnn_ @windisworld_story
Twitter : @windiisnaeni21
Tiktok : @windiisnaeni21
Fizzo : @Windiisna





Ayat 18

Ben dapat melihat ketika suasana masjid yang tadinya ramai, mendadak hening tergantikan dengan alunan surah Al-Fatihah oleh sang imam. Ben menelan ludahnya dengan susah payah, seperti ada biji kedondong. Darahnya berdesir hebat. Mata sehitam jelaga itu tanpa berkedip menyaksikan shaf orang-orang yang tengah melaksanakan salat.


Aurora merogoh saku rok sekolahnya, mengambil kertas yang dia lipat. Gadis itu mengembuskan napas. Niatnya belum tuntas. Aurora hanya mematahkan separuh perjuangan Ben.

Di sisi lain, ketika Aurora menganggap hanya separuh perjuangan Ben yang dia patahkan, Ben merasa semua perjuangannya luluh lantak tak bersisa.

It’s okey, Bro. Lo belum berjuang banyak, dipatahin segitu bukan berarti lo nyerah. Dan harusnya enggak masalah, dong?” Ben bermonolog, berusaha menyemangati dirinya sendiri. Nyatanya, hatinya seperti terasa sempit dan sesak.

Ben memandang jalan yang mengarah ke Pondok Pesantren Al Hijrah. Ben pikir, Aurora benar, tidak seharusnya dia terus berputar mengelilingi Aurora, saat dia sendiri yang menyatakan tertarik terhadap Islam. Ketika kita belum menemukan diri sendiri, kenapa malah sibuk mencari orang lain? Sekiranya begitu yang Ben pikirkan sekarang. Meskipun itu terlihat sulit untuk Ben lakukan.

Ben mengendarai sepeda motornya menuju pondok pesantren di bawah langit oranye yang kian ditelan kegelapan dan diantara suara para muadzin yang berlomba-lomba mengumandangkan panggilan-Nya untuk bergegas melaksanakan salat. Sesampainya di sana, Ben memarkirkan sepeda motornya di dekat gerbang yang terbuka. Selain santri dan santriwati yang salat di masjid pondok pesantren, masyarakat sekitar juga kerap kali berdatangan untuk salat berjamaah di sana.

Ben memandang ke arah masjid. Orang-orang memasuki masjid. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ketika berbalik, Ben mendapati seorang pria dewasa berjubah dan bersorban.

“Kamu masih pakai baju sekolah, mau salat, kan?” tanya pria itu.

Ben melihat sang pria mengelus jenggotnya, seperti orang yang sedang berpikir sembari menilai Ben. “Kamu santri di sini?” tanyanya lagi, “tapi kayaknya bukan, saya baru kali ini lihat kamu,” jawabnya sendiri disertai gelengan.

Ben diam saja, membiarkan pria itu berspekulasi.

“Saya belum wudu, ayo sekalian,” ajak pria itu. Dia berjalan lebih dulu di depan, tapi kembali membalikkan badannya. Seolah-olah paham dan terlalu peka, jika tidak ada pergerakan dari instruksi yang diberikannya kepada Ben. “Ayo! Tunggu apa lagi?”

Pria itu mengangguk kepada Ben. Sedangkan Ben berjalan kikuk mengikuti langkah pria tersebut. Ben melihat banyak laki-laki yang sedang berwudu. Ketika masih kecil dulu, ketika azan maghrib, Ben yang menonton televisi, melihat azan yang dikumandangkan di sana, dia melihat bagaimana orang-orang berwudu, rasanya biasa saja. Tapi kini, ketika dia menyaksikannya secara langsung, ada perasaan senang tersendiri. Seumur, baru kali ini Ben melihat orang berwudu secara langsung. Ketika teman-temannya salat, Ben tidak mau repot-repot menyaksikan mereka berwudu. Dan kini, Ben menyesal telah melewatkannya.

Ben memperhatikan salah seorang remaja seusianya, dia mulai berkumur, membasuh hidungnya atau lebih tepatnya menghirup air agar masuk ke hidung lalu mengeluarkannya, kemudian membasuh wajahnya, lalu kedua tangannya hingga siku, Ben menyaksikan tanpa berkedip. Hingga remaja laki-laki itu menyelesaikan wudu, Ben masih enggan melepaskan pandangannya.

Cinta Sang Al KafirunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang