Ayat 25

34 5 1
                                    

Sepulangnya Aurora dari kajian di masjid, Aurora masih memikirkan mamanya yang dia lihat dengan tampilan berbeda dari yang dulu. Ketika dulu, mamanya hanya memakai celana jin dan kemeja dengan kerudung pashmina, yang dilihat Aurora beberapa waktu lalu, mamanya lebih tertutup dengan gamis dan khimar. Tapi justru Aurora malah suka dan senang melihatnya. Aurora terus melamun memikirkan sang mama. Sampai-sampai, keterdiaman Aurora yang tak biasa mampu mencuri perhatian Nita.

“Ara?” panggilnya.

“Iya, Ma?” ucapnya reflek. Dan panggilan tidak sengajanya itu mampu membuat Nita melambung bahagia, berbunga lantaran dipanggil ‘Ma’ oleh Aurora. Karena selama ini, Aurora masih saja memanggilnya dengan sebutan ‘Tante’. Nita tidak bisa menyalahkan Aurora sepenuhnya karena gadis itu bersikap tidak sopan kepadanya. Nita maklum, sebab semua akar masalahnya juga berawal dari dirinya.

“Ara, makanannya enggak enak?” tanyanya, melihat makanan Aurora yang masih utuh tak tersentuh. Pertanyaan Nita mampu mengalihkan perhatian Harun.

“Kalau enggak suka, masak sendiri, enggak bisa menghargai makanan, kamu?!” gertaknya.

Nita yang duduk di sebelah Harun mengelus punggung tangan suaminya. “Pa.”

Aurora berdeham. “Maaf.” Aurora enggan meminta maaf, tapi bukannya musuh diri sendiri adalah ego? Kalau ego terus dituruti, kapan manusia akan menjadi manusia? Aurora tidak membenci Nita. Aurora hanya masih terlalu sulit menerima dan sulit berdamai dengan keadaan. Bahkan dia belum mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Dunianya masih terpaku pada ingatan masalalu.

“Ara tanya sama Papa, Papa tahu Mama di mana sekarang?” pertanyaan Aurora jauh dari pikiran Harun. Terlalu tiba-tiba dan tidak disangka-sangka.

Harun meletakkan sendok dan garpunya ke piring dengan kasar, sehingga berbunyi nyaring. Membuat Andra dan Amanda yang turut serta makan malam memusatkan perhatiannya kepada Aurora dan Harun bergantian.

“Andra, masuk ke kamar, ya?” ujar Nita kepada anak laki-lakinya. Andra mengangguk menurut, ngeri melihat wajah papanya yang marah.

“Apa kamu enggak bisa menghargai mama kamu yang sekarang tiap pagi masak sarapan buat kamu? Apa kamu enggak bisa menghargai mama kamu yang selalu khawatir sama kamu? Ada mama kamu di sini, dan kamu menanyakan wanita lain?”

Aurora tidak tahu kenapa Harun bisa semarah itu hanya karena dia menanyakan mamanya. Aurora hanya ingin bertemu, dia rindu. Dan apa tadi, wanita lain? Yang Harun sebut wanita lain itu mama kandung Aurora. Wanita yang telah melahirkannya. Wanita yang sangat Aurora tunggu kedatangannya.

“Pa, enggak papa, mungkin Ara kangen sama Mbak Ayuni, Ara kan udah lama enggak ketemu. Papa jangan marah-marah,” Nita mensihati.

“Bener, Om. Amanda yang baru beberapa minggu enggak ketemu Papi sama Mami aja udah kangen banget. Apa kabar Ara yang udah bertahun-tahun? Iya kan, Ra?”

Aurora tidak menjawab, hanya diam saja. Semua orang yang Aurora antisipasi untuk tidak berurusan dengan mereka, malah belaan datang dari orang-orang yang Aurora antisipasi tersebut. Aurora jadi merasa selama ini telah terlalu jahat kepada mereka, terutama Nita––mama sambungnya. 

Harun bangkit dari duduknya. Tidak ingin makan lagi. Ayah dan anak, sama-sama keras. Aurora tahu, sifat keras kepalanya menurun dari sang papa. Aurora ikut bangkit, pergi ke kamarnya. Tidak mempedulikan panggilan dari Nita.

Aurora masuk ke kamar, menutup pintu, lalu tubuhnya luruh ke lantai, menekuk kedua lututnya, kemudian menelungkupkan wajahnya di antara tekukan kakinya. Berulangkali Aurora mengembuskan napas beratnya. Bagi Aurora, yang paling sulit itu bukan hanya melupakan dan mengikhlaskan, tapi menerima orang baru ketika hati belum sepenuhnya lapang mengikhlaskan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Sang Al KafirunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang