03 | Bisa Karena Terbiasa

8K 1K 364
                                    

Dengan hati-hati, Haikal memarkir mobilnya di garasi 'Rumah Klandestin'. Sejak dua tahun terakhir begitulah mereka menyebut bangunan peninggalan kakek dan nenek Marka itu. Suasana sunyi sangat terasa begitu ia membuka pintu rumah. Di dalam, kegelapan menyelimuti sebagian besar ruangan, kecuali satu yang masih bercahaya redup.


Haikal bersuara, "Aji?" sambil melangkah menuju sumber cahaya tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haikal bersuara, "Aji?" sambil melangkah menuju sumber cahaya tersebut.

Haikal menghela napas lega ketika melihat Aji terlelap di meja makan dengan kepala yang mendarat di atas laptopnya. Suara langkah Haikal yang berniat mendekat tanpa sengaja berhasil membangunkan pemuda jangkung itu dari tidurnya.

Dengan perlahan, Aji membuka matanya, terlihat sedikit terkejut dan bingung. Sorot mata yang masih setengah tertutup menangkap kehadiran Haikal, yang memberikan senyuman lembut. "Udah makan?" tanya Haikal dengan nada ringan. Aji hanya mengangguk sambil mengucek mata, seakan masih terlelap dalam dunianya sendiri.

"Kenapa sekarang segampang itu lo kebangun dari tidur?" tanya Haikal seraya menarik kursi di samping Aji, kemudian duduk di sana.

"Karena terbiasa mungkin," jawab Aji dengan kantuk yang masih tersisa, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Punggungnya bersandar lemas pada kursinya.

Senyum tipis terbit di wajah Haikal. Dengan tangan yang meraih apel pun pisau buah, Haikal bersuara lagi, "Padahal gue kangen masa-masa nipu lo biar bangun."

Namun, Aji tak membalas. Netranya memperhatikan pisau di tangan Haikal dan wajah sahabatnya itu secara bergantian. Dalam keheningan itu, ada sesuatu yang terbaca di matanya, mungkin kenangan atau pemikiran yang tengah melayang-layang di benaknya.

"Kenapa?" tanya Haikal.

Aji menggeleng.

"Kadang masih kaget, ya, liat gue berani pegang pisau lagi?" gelak Haikal.

"Iya. Padahal harusnya gue bersyukur karena lo akhirnya berhasil ngelawan trauma itu, Bang. Bahkan, sekarang lo udah berani nyetir mobil sendiri lagi," jawab Aji.

"Ya gimana, Ji? Yang biasanya gue repotin kan gak ada semua, sisa lo doang, masa iya mau nyusahin lo terus-terusan? Kuncinya ya cuma satu, Ji, gue harus percaya sama diri gue sendiri," jawab Haikal secara gamblang. Suara rapuhnya terselip di antara irama kesepiannya. Sepotong apel terasa hambar di mulutnya, matanya menyusuri setiap sudut rumah yang sepi. Tatapannya begitu sendu, hingga cahaya bulan menyusup ke sudut-sudut air mata yang mulai bergelayut di pelupuk matanya, seperti sedang menciptakan lukisan kesedihan yang tak terucap.

Tanpa berkata apapun, Aji memeluk sahabat yang sudah dianggapnya saudara itu. Kepalanya menempel di bahu Haikal.

"Maaf, ya, Ji. Rumah sekarang sepi," ucap Haikal seraya mengusap pipi Aji.

Eternal Flutter (SIDE STORY) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang