01 | Saat Canda Menyapa

10.4K 1K 633
                                    


Jakarta, Desember 2025

Sejak matahari menyapa pagi, Albi terpaku pada putri kecilnya, Zora. Dalam kamarnya, ia terbuai dalam dunia kecil, bermain bersama sang anak, Meskipun tumpukan naskah menanti di ruang kerja yang sepi, Albi memilih melupakan segalanya, membiarkan waktu berputar dalam irama keceriaan bersama sang anak. Kedua tangannya terlibat dalam dunia imajinatif, dan sejenak, kebahagiaan Zora menjadi naskah terindah yang tak perlu dicetak.

Keputusan untuk berhenti menulis sempat terlintas setelah kelahiran buah hatinya, tapi hingga kini, tepatnya ketika usia Zora mulai menginjak 8 bulan, pilihan itu masih saja menggantung tanpa kejelasan. Antara dunia sastra dan senyuman Zora, Albi merasa berada dalam pertarungan tak terucap yang terus berlangsung di setiap halaman hidupnya. Dalam pergulatan batin, pena yang biasanya mengarang kata-kata di kertas, kini terpaku oleh pesona tak terlukiskan dari sorot mata kecil Zora. Keindahan prosa kehidupan barunya melahirkan kalimat-kalimat diam yang tak pernah terhenti.

"Assalamu'alaikum! Zora~ Om paling ganteng di dunia dateng nih~"

Albi menghela napas panjang saat mendengar suara itu; Haikal sudah datang.

"Wah, lagi-lagi dramatisasi 'om paling ganteng'nya muncul," gumam Albi. "Andai kegantengan lo itu bisa ngundang rezeki, Kal. Gue pasti udah jadi milyuner," lanjutnya sambil tersenyum pada Zora yang hanya tertawa riang tanpa tahu apa-apa.

Haikal turun dari mobil dengan langkah cepat dan langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tanpa menunggu waktu, ia singgah sebentar di dapur, meletakkan anggur muscat alias sesaji untuk Albirru, lalu dengan gesit ia meluncur ke kamar Albi.

"Zora, Zora, Zora." Haikal melantunkan nama Zora dengan semangat seperti penyanyi pop yang mengenalkan lagu hitnya.

Albi praktis menoleh ke arah datangnya Haikal. Kedua mata yang tersembunyi di balik kacamatanya langsung menatap sepatu yang masih melekat erat di kaki pemuda itu. Dengan ekspresi lelah, suami Naisha itu menegur Haikal dengan tegas.

"Sepatu! Lepas di luar, Kal. Nggak dibawa masuk kayak gitu. Naisha ngepel bukan buat lo injek-injek!" seru Albi sambil memberikan pandangan tajam seolah-olah Haikal baru saja melanggar aturan tak tertulis dalam buku pedoman kehidupan di rumahnya.

"Ampun," Haikal segera melepas sepatunya dengan gerakan cepat menyisakan sepasang kaos kaki bercorak Shinchan. Ia membawa dan melemparkan sepatunya ke luar rumah dengan sembrono. Tak lama kemudian ia kembali masuk dan tanpa ragu mendarat pelan di sisi Zora, seraya menyapa dengan senyum yang cerah.

"Siang cantik~" ucap Haikal, seolah tidak peduli bahwa sepatunya tadi telah mendarat seperti meteor di halaman rumah, membuat Albi menggelengkan kepala campur tawa di belakangnya.

Bayi perempuan itu merespons dengan tawa riang saat Haikal menyapanya. Melihat reaksi bahagia dari putri kecilnya, Albi tak bisa menahan senyum lega yang muncul di wajahnya. Seolah-olah tawa Zora adalah melodi kebahagiaan yang mengalun di dalam ruangan, menggetarkan hati Albi dengan kegembiraan melihat interaksi positif antara Haikal dan sang putri kecil. Dalam sekuntum tawa Zora, Albi menemukan keindahan yang tak tergantikan di dunianya yang begitu sederhana.

"Papa bentar lagi nyampe," celetuk Albi.

Haikal tak merespons. Ia malah sibuk memainkan permainan "peek-a-boo" dengan Zora. Pemuda itu memunculkan wajahnya dengan gaya teatrikal dan Zora pun tertawa cerah.

Nggak bahaya kah ini, keliatan kayak bayi dititipin bayi, batin Albi memperhatikan interaksi yang sedang terjadi di depan matanya.

"Mbak Nai di mana, Bang? Lagi keluar, ya?" tanya Haikal.

Eternal Flutter (SIDE STORY) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang