32. Keluarga

2.6K 395 11
                                    

Aku pikir, masih ada beberapa bab dari cerita ini yang belum aku unggah. Ternyata tinggal satu ini aja, karena yang lainnya itu bab tambahan, yang hanya ada di Karyakarsa.

Dengan kata lain, cerita ini tamat sampai di bab ini. Jangan tanyakan lagi, "kapan lanjut?", "kapan update?", dan lain sebagainya. Karena seperti yang aku sudah jelaskan, bab lainnya hanya bisa dibaca di Karyakarsa.com

Tidak dibaca pun tidak apa-apa, aku nggak memaksa, yang mau membaca pun silakan, aku berterima kasih untuk hal itu. Dukungan apa pun itu aku terima, selagi mendukung, dalam artian positif, ya, bukan mencaci maki atau apa pun itu.

Komentar jelek tentang tokoh-tokoh dalam cerita yang aku buat pun, aku terima, karena aku nggak membuat karakter yang 100% baik. Seperti kita semua, manusia, yang pasti ada sisi baik dan buruknya. Tinggal pintar-pintarnya kita menyikapi hal dan mengambil baiknya, dan membuang buruknya.

Terima kasih untuk antusiasme kalian pada cerita ini ❤️

****

 

Rasanya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Yang jelas, aku bahagia banget ada Ibu di sini. Kejutan yang sama sekali nggak aku sangka sebelumnya, karena Ayah juga nggak kasih kode apa pun. Ibu juga semalam melakukan video call dengan kami, masih dengan dasternya dan menggendong bayi Mas Anton di saat Mbak Kina sibuk mengeloni Aurora. Tiba-tiba saja, Ibu ada di sini.

Aku langsung mengenalkan Ibu pada para tetangga yang ada di rumah, mengatakan bahwa aku bahagia banget, Ibu bisa datang ke salah satu acara bahagiaku. Meski bukan acara formal, tapi syukuran akan datangnya anakku ini memang membuatku bahagia.

Setelah itu, aku mengajak Ibu untuk istirahat di kamar, sekaligus melepas kangen dengan pelukannya. Prabu Hanenda cuma geleng-geleng kepala melihatku yang antusias banget ini.

“Ibu bawain sambal goreng daging, kamu suka, kan?” ujar Ibu sembari menepuk-nepuk bahuku.

Aku tiduran memeluk Ibu, sambil sesekali Ibu mengelus perutku. Semilir angin yang masuk lewat celah jendela, membuatku mengantuk. Apalagi dengan dekapan hangat Ibu, rasanya mau tidur saja, tapi takut kalau semua ini justru hanya mimpi.

“Ibu mau bantu di belakang, awas, loh,” kata Ibu menegurku.

“Nanti aja, masih mau peluuukkk,” tolakku.

Ibu terkekeh, kemudian mengecup kepalaku.

“Kamu makannya teratur, nggak?”

Aku menggeleng. “Masih suka mual kalau makan nasi. Tapi diganti sama umbi-umbian sama Ibu tiap hari.”

“Kenyang?”

Aku mengangguk. “Kenyang, dong! Kulkas juga nggak pernah kosong, kok. Makanya sekarang aku kayak ikan buntal kalau kata Ayah,” keluhku membuat Ibu tertawa.

“Nggak gemuk banget, kok. Standarlah ini, namanya juga lagi hamil.”

“Nanti bisa kurus lagi, Bu?”

“Ya tergantung, kamu mau olahraga atau enggak? Jangan kurus banget juga, nanti dikira nggak dikasih makan sama suamimu.”

“Ya enggak juga, Bu. Pengen yang seksi, biar Mas Prabu suka.”

Ibu malah tertawa mendengar omonganku. Padahal, kan, nggak ada salahnya juga.

“Kamu sebelum nikah juga kurus, buktinya dia mau-mau aja. Orang udah sayang itu ya terima apa adanya kamu, Di,” ujar Ibu lembut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang