01: bingkai

180 19 11
                                    

Kami naik bis kota dalam perjalanan pulang, aku bersandar pada bahu pria itu, sembari menepuk kepalaku dia mencium jari jemariku, tanpa kalimat apapun disepanjang jalan menuju ke rumah aku merasa menjadi wanita paling dicintai

Ketika kedua kaki kami menginjak tanah yang basah, Law menggenggam erat jari jemari milikku, dia menarikku dengan sigap kebawah halte pemberhentian, menyingkirkan butiran air yang membasahi rambut hitamku

"Pakai ini," ungkapnya sembari memberi kemeja hitam miliknya, kaos putih yang basah milik pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang di yang tengah berteduh. "Bagaimana kalau kamu sakit?" kataku, mata biru kehitaman tersebut menatap teduh padaku, dia menampilkan senyuman tipis yang nyaris tidak terbaca

Sembari mengenakan kemeja nya padaku, pria itu berkata, "Aku tidak mudah sakit, pakai saja," satu kalimat itu begitu bermakna ditelingaku, dia bersikap seolah-olah jatuh sakit bukan hal buruk asalkan aku tidak sakit

Dalam perjalanan kami ke rumah, langkah kaki kami sedikit berjarak, Law berada jauh dibelakang, dia menatap aku yang kesana kemari menginjak genangan air, laki-laki itu tidak sekalipun menegurku ketika aku membuatnya terkena air hujan yang menggenang

"Bajumu basah lagi jika seperti itu," teguran akhirnya keluar darinya, aku merasa itu sedikit terlambat soalnya bajuku sudah hampir basah semua, bahkan kemeja Law juga terlihat penuh air

Kaos hitam yang dia gunakan berubah menjadi coklat di bagian bawahnya, aku terkekeh, "Maaf ya," jelasku. Tidak ada tawa dibibirnya namun alisnya mengendur, dan matanya menatapku lembut, perubahan kecil itu membuatku tau bahwa dia tidak marah

"Kamu akan datang ke acara besok?" ujarnya kaku, tampang kikuk darinya memperjelas bahwa dia takut pertanyaan itu menyinggungku. Aku mengangguk, "Iya, mau bagaimanapun Zoro adalah seseorang yang aku kenal, dan Kuina juga, tapi jika kamu terganggu dengan hal itu. Haruskah aku tidak datang?" Sahutku

Law menggeleng, "Datanglah, ku temani," jelasnya. Aku menampilkan gigi rapi ku, "Eiyy, kamu tidak cemburu?" ujarku menggoda, tumben sekali dia tidak menggembungkan pipinya

"Kamu bilang kamu memilihku, aku mau mempercayai itu," bisiknya pada telinga kananku, aku merinding mendengar suara berat dan basah tersebut tiba-tiba menyelinap dalam gendang telinga, rasanya menggelitik

"Ya, mari datang bersama dan mendoakan pertunangan mereka," jawabku. Dia tertawa, Law mengulas senyuman paling indah yang pernah dia lakukan, begitu manis bagaimana dia mengatakan 'ya' dari senyuman tulus itu.

------

Pagi ini, Law mengetuk pintu apartemenku, dia mengetuknya berkali-kali sembari menekan bel, aku keluar dengan pakaian berantakan dan rambut acak-acakan. Dia yang berpenampilan begitu rapi hampir membuatku takut bahwa ini bukan Law tapi jin jelmaan Law, bayangkan saja dipagi hari matamu yang masih mencerna warna melihat pria tampan dengan jas hitamnya

"Kenapa kamu rapi sekali?!" Aku membelalak, dia tentu saja tertawa ketika mendengar aku bertanya. "Kamu lupa? Ini hari pertunangan Zoro dan Kuina," aku hampir mengeluarkan kata kutukan namun untungnya Law berhasil menutup mulutku

"Berhenti bicara kotor, dan bersiaplah sayang," katanya, aku diam sejenak. "Kamu bilang sayang? Eiyy memalukan," ejek ku, meskipun sejujurnya hatiku sempat hampir melompat dari tempatnya

Law masuk dan duduk di sofa merah muda, dia terkekeh melihat warnanya, pria itu yang paling tau bahwa aku benci merah muda, apalagi merah muda yang pekat. "Aku tebak ini pasti dari Nami," aku mengiyakan pertanyaan itu, anggukan cepat dariku membuatnya tertawa

"Dia memberikannya sebagai hadiah ulangtahun, katanya sofanya sedang diskon," jelasku.

Hampir satu jam aku bersiap, ketika aku keluar pria itu berdiri didepan bingkai foto yang aku tutup, matanya menatapku yang tengah meraih resleting gaun. Langkah kakinya mendekat, "Kenapa bingkainya ditidurkan?" tanya Law sembari menarik resleting emas gaunku, dia menutup nya dengan baik

"Bingkai mana yang kamu tanyakan? Kanan atau kiri?" tanyaku kembali, Law menaikkan alisnya, "Berbeda?" aku mengangguk. "Iya, berbeda."

Law menunjuk bingkai sebelah kiri, aku tersenyum kikuk, "Foto keluargaku, dengan ayah," wajahnya nampak kembali bertanya. "Kenapa ayah disendirikan?" laki-laki itu menyadari aku memisahkan kata ayah dari makna keluarga

Aku mencari hal lain, membuat dia tidak akan berani bertanya lagi tentang bingkai disana, percakapan kami disudahi, meski sejenak aku sadar bahwa Law menekan emosinya.

Peony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang