5

76 6 0
                                    

Langkah kaki kecil namun terburu buru itu menerjang gerimis yang sudah membasahi bumi di waktu pagi, kesialan memang datang di waktu yang tepat. Berbeda dengan keberuntungan. Sekarang ia tidak membawa sepeda motornya karena sedang berada di bengkel, ia juga telat ke halte sehingga ketinggalan bis yang biasanya mengantarkan murid murid ke sekolahnya

Untung saja ia masih sempat, kini ia sudah sampai di depan gerbang. Namun nyatanya hanya dirinya yang baru sampai, karena lapangan baikpun gerbang sudah tidak ada lagi siswa maupun siswi yang datang

Ia menunduk menatap seluruh pakaiannya yang lusuh dan basah kuyup, tau begini mungkin ia akan membolos dan menemani bundanya memasak. Ya mungkin jam pertama dan kedua ia akan mendapatkan alpha. Semesta berjalan ke pinggiran taman, disana ia duduk di kursi kayu yang bersebelahan dengan gudang yang jarang orang orang tau

Gerimis semakin lebat, hawa dingin pagi itu menusuk pori pori kulitnya. Ia hanya di balit seragam, bahkan semesta tak mempersiapkan sweater ataupun jaket karena benar benar tidak menyangka akan hujan selebat ini

"Semesta bilang aja iri sama gw, apa gara gara nama gw semesta jadi lo jahatin?", ia terkekeh akan ucapannya sendiri, terdengar seperti orang yang sudah sangat gila akan keadaan

Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi panjang yang cukup untuk lima orang, matanya terpejam ketika rasa dingin berhasil membuat tubuhnya menggigil dengan sangat hebat, ia memeluk tubuhnya berusaha untuk tetap tenang. "Tuhan, dingin", lirihnya yang tidak didengar oleh siapapun.

Petir bersautan seakan marah jika dirinya berucap sedikit kata, bahkan untuk mengeluh pun ia tidak berani. Seorang seperti dirinya juga butuh dirinya lagi, ia hanya ingin di dengar. Namun nyatanya semesta tak berani untuk mengungkapkan perasaan yang ia rasakan pada sahabat nya ataupun bundanya,

Cukup menjadi obat untuk orang lain.

"Tujuan semesta hidup apa ya?", bibirnya bergetar seolah ragu dengan ucapannya sendiri, ia menutup kedua matanya ketika air matanya turun tampa ia pinta

"Semesta harus bertahan sampai mana? Apa perjuangan semesta akan terbalaskan?", pertanyaan demi pertanyaan seakan mengantri untuk mendapatkan jawabannya masing masing, berisik. Ia lelah meladeni pikirannya sendiri

"Sakit, tuhan semesta sakit", suaranya bergetar, dadanya terasa sesak ketika mengingat masalah apa yang akan datang kedepannya nanti. Bagaimana jika ia tidak sanggup menghadapinya dan memilih menyerah, semesta takut jika harus pergi meninggalkan bundanya

Siapapun tolong hentikan pemikiran bodohnya, ia tidak sanggup lagi. Ia membaringkan tubuhnya, kedua tangannya menekan erat telinganya seolah meminta berhenti terhadap pertanyaan yang seolah menerornya

Ia tak bisa berkata seolah mulutnya dilarang mengucapkan sepatah kata apapun. Matanya mengabur menandakan ia akan kehilangan kesadarannya

_

Sementara di tempat yang berbeda mahendra terus melirik ke arah pintu masuk kelasnya, hujan semakin keras bahkan memicu datangnya petir yang terus bersaut satu sama lain

'apa dia bakal datang?', beberapa menit lagi bel masuk akan berbunyi namun teman sebangkunya itu tak kunjung datang

Pikiran Mahendra semakin dibuat tak karuan, ia takut jika sesuatu terjadi pada semesta. Bagaimana ia tidak khawatir, sebelum ia berangkat mahendra menanyakan kepadanya untuk sekolah atau tidak dan semesta menjawab akan pergi sekolah

Namun hujan cukup besar dan tak memungkinkan semesta untuk berjalan kaki, tangannya terus bergerak di layar ponsel yang ber casing hitam dengan logo harimau lucu

Semesta gak masuk?

P

esan itu iaa kirim ke chat grup, ia berharap salah satu dari kedua teman lainnya mengetahui keberadaan semesta

evanescent - lee Haechan  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang