7

54 7 1
                                    


Sunyi. Ketenangan itu seakan akan memakan sedikit demi sedikit jiwa maupun raganya, kangker yang telah menjadi bagian dari tubuhnya perlahan namun pasti sedikit demi sedikit menggerogoti paru parunya. Menyebar ke organ lainnya

Semesta menatap kosong jendela dengan gorden putih polos, rasanya seakan akan dunia mengambil seluruh energinya bahkan untuk sekedar bernafas pun ia sudah lelah

Bundanya tak kunjung berhenti menangis meminta agar tinggal di rumah sakit untuk menemaninya, bahkan ia rela tidur di sofa demi dirinya. Namun hatinya tak rela jika haru melihat bundanya yang tidur kedinginan du atas sofa rumah sakit. Dengan lemah lembut dan penuh perhatian ia meminta Rahayu untuk pulang dan tinggal di rumahnya, mengatakan sedikit ucapan lembut agar wanita yang sudah berumur itu untuk mengerti jika anaknya tak selemah sewaktu masih kecil

Semesta, dia hanya di dampingi oleh angin lembut yang sayup sayup memasuki ruangan melalui jendela rumah sakit yang sengaja di buka agar udara segar masuk ke ruangan polos nya

Mengingat perkataan cacian, bahkan keadaan bundanya yang terus menerus menderita, siksaan yang di dapat bahkan ia tak tau mengapa ia mendapatkan itu. Sudah terlalu lelah semesta untuk bangkit, namun ia terus bertahan untuk hal yang memang harus ia wujudkan bukan?

"Ayah sayang semesta?"

"Sayang dong", pipi merah itu di cium lembut oleh lelaki gagah berkemeja putih itu

"Semesta mau kita keliling Indonesia!", sang ayah tersenyum gemas melihat tingkah laku anak lelaki semata wayangnya, "tentu, nanti kita keliling Indonesia"

"Semesta sini, ayah punya sesuatu", lelaki mungil itu berlari dengan langkah pendeknya sambil berteriak gembira, "wah! Makasih ayah!"

Ingatan, demi ingatan.

Gambar demi gambar terkumpul seakan membuat skenario yang memang benar adanya, namun itu sudah tak berlaku sekarang.

Dewasa bukanlah hal yang mudah baginya. Berubahnya fase yang seolah memaksa meninggalkan kehendak, keinginan, bahkan harapan seakan tak mungkin akan berhasil ia genggam. Pujian kecil dari bundanya berhasil menyembuhkan sedikit demi sedikit rasa lelahnya, namun pasti ayahnya akan kembali dan menghancurkan jiwanya. Sedikit, demi sedikit.

Kini hari ketujuh setelah pengungkapan apa yang ia derita. Dan semua cukup berantakan dan berhasil membuat persahabatan nya usai.

Falsback on

Setelah mengucapkan keadaan semesta revano segera keluar agar tak ikut campur di antara mereka berempat, suasana hening. Namun semesta tau mereka kecewa

"Ha..ha", suara serak basah itu memecah keheningan, seolah sudah berani vano mulai menatap tubuh yang terbaring lemas itu

"Lo anggap kita apa, semesta", suara nya terdengar dingin, menghantam hatinya dan meninggalkan rasa sesak

"LO ANGGAP GW APA, SEMESTA?", Semesta terdiam menatap lurus sosok yang baru saju berteriak tepat di depannya, dia Mahendra. Teman yang paling dekat dengannya, wajahnya terlihat sangat kecewa padanya

Maaf, hanya itu yang terpikirkan olehnya. Ia cukup lelah jika harus memulai pertengkaran dengan ketika temannya yang keras kepala, ia sudah tau karena selalu mengamati mereka. Namun detik ini, nafas yang tersengal-sengal itu merasakan takut

Mereka seakan siap pergi kapanpun.

"Ma..maaf", lirihnya, ia tertunduk dan tak berani menatap mata penuh amarah Mahendra

"Ternyata gw salah ya? Ternyata gw gak di ANGGAP apapun sama lo", ia terkekeh, bukan merasa senang melainkan sedih

Sedangkan harsa hanya diam, tak berani melontarkan kata kata menyakitkan kepada lelaki bermata coklat yang tengah menahan air matanya. Bagaimana bisa mereka mengatakan itu kepadanya? Bukankah mereka seharusnya mengerti akan kondisi nya

"Maaf...maafin gw", mata itu berbeda

Mata dingin mereka berdua yang persis semesta lihat ketika pertama kali bertemu. Ia mencengkram erat selimut biru muda itu dengan erat, dadanya tersa sesak, keringat dingin terus mengalir deras membasahi wajahnya

"Lo pikir, itu cukup? Ge kecewa, gw kecewa. Semesta.", vano mengepalkan tangannya

Ia menatap sendu sosok yang mungkin mamlu mengerti dirinya, mata coklat itu bertemu dengan mata biru lautan itu. Menahan isak yang hampir keluar dari mulutnya. Mungkin Mahendra akan mengerti--

"Lo bukan sahabat gw lagi...gw kecewa sama lo", Mulutnya terbuka ketika mendengar lontarkan kata yang seharusnya tak Mahendra katakan

Hancur, kini mereka hancur seolah di debur kencang ombak lautan. Tahun tahun itu hilang tak tersisa seolah tersapu ke tengah lautan yang sangat luas

Kenapa kalian bilang gitu?, harsa berniat membuka mulutnya, namun ia seolah terkunci dan tak mampu memberontak setelah melihat wajah kecewa semesta

Mengapa, mengapa di saat tahu kondisi semesta mereka justru menghancurkan mentalnya. Harsa kecewa, bukan kepada pemilik mata coklat itu. Tapi kepada kedua temannya

Semesta hanya diam, ia merasakan rasa aneh di mulutnya. Darah, rupanya ia menggigit bibir bawahnya terlalu kencang dan melukainya

"Gw gak bermaksud-- maaf...", kata yang ingin ia curahkan itu tertahan. Semesta takut jika ucapan yang ia keluarkan akan memperburuk keadaan

"Lo cuman diem? Lo gak mikir gimana perasaan kita ketika tau keadaan lo yang kaya gini?"

Tangan itu bergetar hebat, harsa berjalan sedikit demi sedikit hingga kini ia berhenti di antara mereka berdua. Mata itu menjelaskan amarahnya yang membludak ketika mendengar ucapan yang seharusnya tidak keluar itu

"ANJING KALIAN BERDUA"

BRUGH!

Baik Mahendra ataupun vano terlempar ke lantai ketika mendapatkan bogeman dari lelaki berkemeja hitam itu, nafasnya terdengar berat ketika tubuhnya di kuasai oleh amarahnya sendiri

"Apa apaan lo, anjing?", vano mengusap darah segar yang keluar dari hidungnya

Sedangkan Mahendra meringis sembari memegangi rahangnya yabg terasa sangat panas dan sakit. Mereka berdua menatap kesal harsa yang siap melayangkan pukulannya je wajah rupawan mereka berdua

"MENDING KALIAN PERGI,

Kepala lo berdua terlalu bodoh seakan akan ga pernah di ajarin rasa kepedulian, lo berdua tau ga kalo omongan kalian itu cuman bullshit anjing? Mending otak lo pada dinginkan dulu sebelum ngomong", Ucapannya sambil mencoba menenangkan kembali dirinya

"Lo berdua seolah nyerang mental SAHABAT gw yang lagi berjuang. Hidup kalian masih terbilang enak daripada dia, dia yang sakit tapi lo yang kecewa. Tolol? Lo mikir anjing kalo mau ngomong sama semesta", Harsa berjongkok di depan kedua remaja itu, ia menarik kerah baju seragam Mereka dengan sangat erat

"Pemikiran kalian kaya binatang"

Flashback off

Raga itu terasa hampa, ia tersenyum kecut ketika mengingat momen demi momen ketika mereka masih bersama

"Gw jahat ya? Maaf...gw gak mau kalian khawatir"

Lelah, lelaki ini hanya butuh sedikit ketenangan agar ia dapat istirahat dengan tenang. Untuk saat ini ia ingin berhenti mempertanyakan hal yang tak jelas, kepalanya terlalu berisik

Ceklek.

Harsa menatap sendu sosok yang kini tak seceria dulu. Hari hati cerah nya berganti menjadi hari jari suram, seolah tak ada harapan selain demi bundanya

"Gw harus gimana har?", Harsa tertunduk mengingat betapa berat semesta bertahan selama ini

Tiit...tiit

Semesta melirik ponsel miliknya yang tergeletak di meja yang terletak di samping ranjangnya, lebih dekat dengan harsa. Tampa lama lama harsa segera mengangkat panggilan dari nomor yang tak di kenal itu

Dengan sedikit rasa penasaran ia mengangkat telepon itu, tak lupa harsa juga mengeraskan volume panggilannya agar semesta ikut mendengarkan

"Ha..lo?", tanya harsa

"Dengan keluarga dari ibu rahayu? Maaf tapi rahayu kecelakaan dan meninggal di tempat. Dia berada di rumah sakit xxxxx"

evanescent - lee Haechan  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang