Gadisya si baik, si cerdas, si berbakat dan si pemilik jalan kehidupan yang sempurna, semua orang tahu itu, selalu begitu sejak dulu. Ia mendapatkan banyak cinta dari orang banyak.
Sedang Dewa anak lelaki manis yang kini terkenal sebagai si berandal...
Kurang beberapa menit untuk tepat dini hari Dewa di kediamannnya, lelaki yang kini telah menyampirkan jasnya di bahu dan lengan kemeja yang sudah terlipat sampai ke siku itu berjalan menuju kamarnya, tak ada niatan untuk menghidupkan lampu ruang tengah yang ia lewati, tak ada niatan untuk bersih-bersih atau sekadar berganti pakaian. Ia lemparkan tubuhnya ke ranjang sedang jasnya kini teronggok di bawah kasur, malam ini cukup melelahkan tapi juga menyenangkan padahal ia tidak mampir ke club malam tempatnya biasa melepas penat, hanya menghabiskan malam dengan si penyihir kecil, ternyata selama ini ga mau interaksi denganya karena pernah dilabrak rupanya. Dewa menyesalkan tindakannya dulu, andai ia lebih tegas, lebih berani melawan kekangan agensinya dulu, untung saja kini ia sudah lepas dari agensi toxic itu. Lama-kelamaan kelopak mata lelaki berahang tegas itu memberat, lelah mendekapnya. Hampir terlelap namun seketika tenangnya terganggu saat ponselnya bergetar panjang lalu menculkan suara notifikasi.
Ada telepon dan sebuah pesan, saat membacanya lelaki itu mendecih sinis, "Ngirimin gue pesan cuman untuk minta dikirimin duit lagi?" Ia tertawa kecil lalu menutup matanya dengan sebelah lengannya masih tertawa namun kini terdengar memilukan, "Gue apa sih di mata mereka? Pernah mikir ga si mereka gue bagaimana sendiri di sini?" Dewa masih tertawa lirih menertawakan kisah hidupnya yang sangat miris.
Sebenarnya definisi keluarga itu seperti apa? Punya mama tapi tidak pernah sekali pun mencoba ingin tahu tentangnya, malah setiap Dewa ingin mencoba mendekat wanita yang melahirkannya itu malah abai dan sibuk dengan keluarganya sendiri. Punya papa tapi hanya datang untuk uang. Tidak pernah Dewa rasakan manisnya kehangatan keluarga. Sejak kecil bahkan saat ia sudah ditinggal karena perpisahan, masalahnya atak jauh dari arena peliknya ekonomi. Beruntungnya ibu papanya begitu siap mencurahkan segala kasih sayang yang tidak sempat lelaki itu rasakan, meski hidup serba kekurangan nenek selalu berusaha memastikan Dewa merasa cukup. Sepanjang hidupnya sampai ia memulai karir hanya nenek yang mendukungnya secara penuh, Dewa merasa cukup akan itu walau diabaikan kedua orang tuanya sendiri, ia bisa kuat karena ada nenek. Andai nenek tidak pergi begitu cepat ia tak akan sehancur sekarang.
Dewa memilih untuk tidak jadi tidur dan menggeser menu ponselnya pada aplikasi berlambang "X". Menggulir layar membaca sambatan orang lain tentang hidup, sekaligus mencari tahu apakah ada rumor tidak jelas yang beredar setelah tadi dirinya dan Disya yang kepergok sedang berdua saja. Namun sepertinya kondisi dunia maya saat itu tentram-tentram saja, hanya ada perseteruan antar akun anonim yang meributkan hal tidak jelas.
"Syukurlah kalau anak itu ga diseret-seret lagi sama kontroversi gue."
***
Flashback
"Disya, Aunty harus ke om sutradara dulu kamu tunggu di sini aja ya?" Disya kecil hanya mengangguk. Ia mengedarkan tatap mencari tempat menunggu yang nyaman. Pandangan gadis berusia lima tahun itu tertuju pada kursi kayu panjang di bawah pohon ketapang. Disana ia melihat anak laki-laki yang sedang membolak-balik kertas, entahlah kertas apa, tapi anak itu tampak serius membaca. Wajah anak lelaki itu menarik, entah tampan, entah lucu, tapi yang paling dominan menurut Disya dia anak yang manis.
Atensi gadis itu setelahnya teralihkan lagi saat mendengar suara bebek yang berada tak jauh darinya. Sepertinya bebek itu menjadi salah satu properti syuting kali ini. Bebek putih yang cantik. Disya terpikat dengan pita bewarna pink yang berada di leher bebek itu, dia yang menginginkan pita itu. Disya mencoba mendekati bebek itu perlahan, dan bebek itu masih tampak tak begitu peduli dengan keberadaan bocah kecil di dekatnya, sampai akhirnya saat Disya menarik pita itu lepas, bebek itu mulai panik dan ribut dengan suara khasnya, hal itu membuat Disya kecil ikut panik dan akhirnya memilih lari, tetapi sepertinya bebek itu tak akan melepaskan bocah kecil yang masih menggenggam pita pink miliknya. Semua hal konyol itu ternyata tak lepas dari pengamatan bocah kecil di bawah pohon ketapang, sejak tadi fokusnya terbelah saat melihat tingkah Disya. Disya dan bebek itu masih terus berkejar-kejaran tak tentu arah, sekarang sepertinya ia sudah tak lagi di area saat Aunty Eca meninggalkannya, ia tak tahu tempatnya kini dimana. Mata gadis kecil itu sudah mulai basah karena ketakutan, kakinya ikut bergetar karena lelah berlari, sedang bebek itu masih saja terus mengejarnya.
"Awww!" Akhirnya Disya telah mencapai maksimum tenaganya, ia terjatuh, kakinya sudah lemas, kini ia mulai menangis, karena dipikirannya saat ini, bebek-bebek jahat itu pasti akan mematuknya. Saat sudah diujung pasrah, tiba-tiba Disya rasakan genggaman diengannya diikuti tarikan kecil seseorang, dan mereka lanjut berlari ke suatu tempat yang rasanya tak asing, setahu Disya ini adalah area mengganti kostum, kini ia dan orang yang menariknya itu sedang bersembunyi di balik kardus-kardus berisi kostum di dalam sebuah tenda putih.
"Eh-"
"Sst," Disya terpaku melihat anak laki-laki yang berjongkok di depannya. Nafas Disya masih memburu karena lelah berlari. Sedangkan suara bebek-bebek itu sepertinya sudah semakin menjauh, apa bebek-bebek itu sudah menjauh?
Anak laki-laki itu tampak menghela napas, lalu menatap Disya.
"Lain kali jangan suka gangguin binatang sembarangan, kalau dikejar sembunyi aja, kalau tadi dipatuk gimana?" omel anak laki-laki itu. Wajahnya tampak serius, tapi yang Disya ingat di anak lelaki dibawah pohon ketapang, si anak kecil dengan wajah cukup manis. Ternyata tak hanya wajahnya yang manis, suaranya juga manis, cukup cempreng untuk ukuran suara anak laki-laki, tapi terdengar manis. Sesaat kemudian anak itu tampak meraba saku dan menoleh ke sekitar, anak itu tampaknya kehilangan sesuatu. Belum lagi ia mulai sadar penampilannya yang berantakan. Padahal ini adalah kali pertamanya akan bertemu para kru.
"Aduh karna nolongin kamu aku lupa naskahnya dimana," Disya mengerutkan keningnya, naskah apa? Kenapa anak ini bilang gara-gara dirinya? Apa salah Disya? Bukan Disya yang menghilangkan.
"Jangan salahin aku, kan bukan aku yang hilangin," protes Disya dengan nada tinggi, ia panik dengan perubahan situasi yang mendadak seperti ini, tadi baru saja ia menghadapi kejaran bebek-bebek jahat sekarang harus menghadapi dituduh bocah laki-laki ini.
"Dih jangan marah-marah juga, maaf aku ga maksud nyalahin kamu kok, eh jangan nangis juga." Celetuk Dewa saat sadar mata Disya mulai berkaca-kaca.
"Ish Disya ga nangis tahu, Disya kan ga minta tolong kamu juga, bukan Disya yang hilangin," marah Disya yang bertolak belakang dengan keadaannya, lihat saja matanya mulai berair lagi.
"Daripada kamu marah-marah mending kamu pergi deh," hardik Disya, anak laki-laki itu tampak bingung ingin berbuat apa, waktunya tak banyak ia harus segera menemui sutradara dengan neneknya. Melihat Disya yang masih mode ngambek lelaki itu menghela napas lalu berlalu pergi, ia tak berniat menyalahkan gadis kecil itu, ia juga sudah minta maaf, tapi gadis kecil itu agresif sekali memarahinya, mana hampir nangis juga.
Setelah anak laki-laki itu pergi Disya berjongkok menutupi wajahnya, gadis kecil itu mulai menangis, dan tanpa Disya tahu sebenarnya anak lelaki itu belum benar-benar pergi dan masih mengintip dari luar.
"Dasar penyihir kecil cengeng."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.