11 Bungkus

4 1 0
                                    

Kalau boleh dibilang, mungkin hari ini akan menjadi hari termenyebalkan dari 365 hari di tahun ini menurut Disya. Lihat saja pemuda dengan jaket boomber merah dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, tapi Disya yakin sepasang mata di balik kaca mata itu tak tinggal diam melirik ke sekeliling menjaring wanita cantik untuk ia nikmati dengan mata jahanamnya, dan jangan lupa senyuman jumawa yang mencoba menebar pesona kemana-mana.

"Bisa fokus ga ,Wa?" Dewa melirik pada Disya yang memandangnya kesal.

Perasaan ni cewek kesel mulu deh kalo ketemu gue, pikir Dewa.

"Kenapa lagi si Dis, ini gue udah ngelarin tugas gue," keluh Dewa sembari menunjuk laptop yang sedang Disya gunakan kini."

"Lagi pula kenapa juga kita disuruh mikir ide, kenapa ga tim kreatif aja kek." Disya mengigit bibirnya menahan kesal, apa pemuda itu pikir tugasnya seenteng itu saja, sepertinya dari tadi hanya Disya yang kerja sendiri, yang cari ini itu, berpikir dan berkoordinasi dengan orang-orang? Sedang Dewa pasang gaya doang.

"Kenapa si gue harus dapat tugasnya bareng lo? Kenapa ga sama Mischa aja? Atau Kak Gita, atau Kak Zean gitu?"

"Udah punya istri woy, ngucap lo, lagian ga level lo istrinya Bang Zean yang ukhti banget, jangan nyoba jadi pelakor lo," hardik Dewa.

"Bukan gitu kali maksud gue, su'udzon lo! Emang gue itu elo?"

"Lo juga su'udzon, nuduh gue tebar pesona, padahal gue juga lagi mikir ini ide buat proyek reuni." Disya yang sudah malas dan terlanjur bad mood menutup laptop lalu berjalan ke arah food court meninggalkan Dewa. Sedang Dewa hanya mengekor tanpa rasa bersalah.

Matahari sudah berada tepat di pertengahan langit, tanda hari sudah sangat siang. Dewa sedari tadi sudah menunjukkan kebosanannya, Disya masih asik memilah snack. Disya hanya tertawa kecil kala tak sengaja mendapati Dewa yang tampak bosan dan gabut, lelaki itu jarang berbelanja sepertinya. Lihatlah baru 2 jam berkeliling pemuda itu sudah sangat bosan dan kini sedang memainkan syal beludru souvenir yang berada di pojok toko.

"Lo ga pernah belanja ke pasar atau pusat perbelanjaan gitu ya?" Dewa menoleh pada Disya yang memperhatikan kegiatan gabutnya.

"Buat apa kalau ada yang namanya gofood, shopeefood, goshop, gosend, shopee."

"Kalau lagi di luar negeri?"

"Gue pasti minta rekomendasi toko sama temen, lagi pula gue jarang belanja-belanja buat siapa coba toh barang-barang endorse dan hadiah aja udah menuhin lemari, kalau keluar negeri mending jalan-jalan atau nongkrong," Disya mengangguk paham, khas cowok banget, ga mau ribet.

"Terus kita mau kemana lagi? Gue capek ini." Disya mengedikkan bahunya lalu berlalu, membuat Dewa mengernyitkan dahi tapi tetap saja mengekori dengan patuh.

***

Disya hanya mengulum tawa melihat Dewa yang seperti melihat mata air setelah berkeliling tujuh gurun hanya karena melihat makanan yang terhidang.

"Kalau emang lo laper, harusnya bilang dong."

"Lo kelihatan sibuk banget, gue kan ga banyak bantu dari tadi jadi ya ga mau ganggu," ujar Dewa sambil masih sibuk melahap ayam kremes dan kerupuk sekaligus. Heleh gaya elit selera tetap kaki lima ternayata.

"Eh Dis lo masih demen makan pedes ya?" tanya Dewa saat melihat ayam penyet dengan baluran sambal di pesanan Disya, ia merinding kala melihatnya sudah seperti ayam dicelupin sambel itu, bukan dibalurin sambel lagi.

"Kenapa mau nyoba?" tantang Disya mengulurkan garpunya pada Dewa, sedang Dewa langsung menggeleng tegas, ia tak mau kejadian setahun lalu menimpanya lagi, berakhir rawat inap kala selesai syuting mukbang seblak. Disya tertawa senang melihat ekspresi Dewa yang menurutnya sangat lucu.

"Sama cabe-cabean aja berani, masa sama cabe rawit KO."

"Bedalah, kalo  cabe rawit gue hangusin, kalau cabe-cabean mah abang bungkus," Disya hanya mendengus mendengar jawaban Dewa, dasar mesum!

***

Rendra dengan semangat 45 memasuki kafe milik Dara seolah-olah ia juga bagian dari pemilik kafe itu tak ada canggung sedikitpun dari gerak-geriknya. Para pegawai pun sudah sangat maklum dan biasa melihat wajah tampan itu yang hilir mudik ke kantor atasan mereka. Toh udah ganteng ga pelit lagi.

"Pak Rendra nyari Bu Dara?" Rendra mengangguk menjawab pertanyaan salah satu pegawai Dara yang Rendra kenal dengan nama Tari.

"Bu Dara udah ga dateng ke kafe dua hari Pak," Rendra mengernyitkan alisnya, dua hari? Kemana wanita itu? Belakangan ini juga dara cukup sulit dihubungi, wanita itu tak lari kan?

"Bu Dara cuman bilang ada urusan, dan katanya kalau bapak datang bilang aja, handle dulu semuanya, Bu Dara mempercayakannya sama bapak," Rendra semakin bingung.

"Di-handle gue? Ga bilang urusan apa memangnya?" pegawai itu hanya menggeleng.

"Ya udah deh gue udah terlanjur di sini, gue pesen kopi sama cemilan apa aja terserah, tolong ya Tari, dan makasih," ujar Rendra dengan senyuman khasnya.

Setelah kepergian Tari, Rendra dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor yang telah dihapalnya di luar kepala karena si pemilik nomor tak pernah menggantinya sejak zaman kuliah. Awalnya tak diangkat namun Rendra tak pantang menyerah meneror wanita itu. Sampaiakhirnya mungkin wanita itu menyerah.

"Lo kemana Ra? Urusan apa?" tanya Rendra sesaat setelah Dara mengangkat teleponnya, tak mencoba basa-basi sedikitpun.

"Ntar deh ya gue jelasin,"

"Ck kalo urusan lo dah kelar hubungin gue, gue mana bisa handle sendiri," pinta Rendra dengan nada memelas.

"Ck manja, ya udah oke ntar gue hubungin, udah dulu ya gue lagi ribet, bye."

Rendra menatap ponselnya dengan pandangan bingung, masih mencoba menerka urusan apa yang sepertinya sangat penting bagi wanita itu. 

Arunika (Haechan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang