Pertemuan

11.4K 645 74
                                    

Mendengarkan musik di tengah riuhnya hujan menjadi hal paling menyenangkan bagi Trisha. Gadis yang umurnya masih sangat muda jika dipadankan dengan dokter lain yang sudah mengantongi surat izin praktek. Baru tiga bulan lalu gadis dengan lesung pipi itu menyelesaikan program intership, yang artinya ia sudah bebas untuk melamar di rumah sakit mana saja atau memilih membuka klinik sendiri.

Jalan yang dipilih oleh Trisha setelah mempertimbangkan banyak hal ialah memilih untuk melamar menjadi dokter umum salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Tidak akan ada yang mau menolak dokter muda cantik dan cerdas seperti Trisha. Sebulan setelah ia mendaftar akhirnya mendapatkan panggilan dan hasilnya di terima. Terhitung sudah dua bulan ia bekerja di rumah sakit itu.

Akan tetapi, bukanlah Trisha kalau mudah puas atas pencapaiannya. Sebulan setelah ia bekerja, ia membuka klinik yang tentu hampir semua biaya dibantu oleh ibunya, Almira Salsabila. Tragisnya, satu hari sebelum dibukanya klinik dokter umum milik Trisha, ibunya meninggal karena kecelakaan di Tol menuju Bandung.

"Gini banget jadi yatim piatu. Makin malem, makin sepi aja rasanya." Ucap Trisha sembari memainkan bolpoin ditangannya.

Malam hari ini, Trisha tengah duduk pada kursi di ruang praktek. Memandangi halaman samping rumah yang begitu luas melalui jendela kaca. Gadis itu bisa melihat beberapa mobil yang terparkir di sana. Apakah semua itu milik Trisha? Tentu bukan, milik Trisha hanya satu, sementara yang lain ialah milik pasien yang sudah ia periksa dan sedang menunggu antrian obat.

Sudah tidak ada lagi pasien yang harus ia periksa, mungkin karena jarum jam yang hampir menyentuh angka 8 malam. Kurang 15 menit lagi waktu untuk ia menutup kliniknya. Atau kemungkinan lain, yaitu hujan deras di luar membuat orang yang sakit lebih baik di rumah saja dan menunggu besok. Dari pada semakin sakit jika harus memaksakan diri pergi ke klinik.

Trisha membuka ponsel lalu mengetik sesuatu di sana.

Trisha:
Mbak apoteker, tolong habis pasien terakhir ngambil obat langsung tutup aja ya, gue cape. Udah jam 8 kurang, sepi juga.

Bila:
Nggak bisa gitu dong mbak dokter. Lagian kenapa chat gue? chat bagian pendaftaran dong cantik...

Trisha:
Bener juga, ngapain gue chat lu wkwk.

Bila:
Bilang ke Laras juga tetep aja nggak bakal boleh. Orang jadwal prakteknya sampe jam 8. Tunggu 15 menit lagi, kalo emang nggak ada yang mau periksa baru tutup.

Trisha:
Ah, nggak asik lu pada.

Trisha meletakkan ponselnya lalu membuka laci dan mengambil satu bingkai foto. Biasanya selalu terpajang di mejanya tetapi kali ini ia memilih menyembunyikan di laci. Beberapa kali ia sering tidak fokus memeriksa pasien kalau foto itu berada di meja. Foto dirinya saat masih kecil dan digendong oleh ayahnya. Sementara ibu Trisha melingkarkan tangannya pada pinggang ayah Trisha. Begitu harmonis keluarganya dulu.

"Kalian kenapa sih ninggalin Caca sendirian? Tau sendiri kan keluarga mama nggak ada, keluarga papa ada tapi nggak pernah peduli sama Caca." Ucap Trisha.

"Liat nih tempat praktek Caca, keren kan anak kalian?"

"Ya gimana nggak keren, mama papanya aja se wow kalian."

Trisha mengangkat bingkai kecil itu seolah sedang merekam video di ruangan prakteknya.

"Caca tuh bisa banget lakuin apa aja buat ngebanggain kalian. Eh ada yang nggak bisa deng, dulu mama papa minta Caca nikah muda tapi belum kesampaian. Bahkan sampe hari ini Caca belum bisa kasih mama papa calon man-"

Kopi TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang