Ribut

3.6K 309 31
                                    

4 bulan kehamilan.

Beberapa perempuan dibesarkan dengan penuh kasih dan tanpa perkataan yang mematahkan dari orang tuanya. Lalu setelah menikah, semuanya dihancurkan oleh orang tua suaminya yang suka menghina seenaknya. Padahal kalau dipikir, mereka memberi makan sejak kecil? Tidak. Mereka meluangkan waktunya untuk membesarkannya? Tidak juga.

Lantas mengapa banyak mertua yang memiliki banyak tuntutan untuk menantunya? Bukankah mereka hanya perlu melepas anak-anaknya untuk membangun rumah tangga yang baik bahkan lebih baik dari mereka? Benar. Ini yang dialami oleh Trisha.

Entah mengapa semenjak menikah, kedua orang tua Kailash sangat jauh perubahannya. Awalnya sangat baik dengan Trisha lalu semakin kesini lebih banyak menuntutnya.

"Mbak, udah gue tutup semua, ayo pulang." Ucap Bila di ambang pintu.

Trisha masih betah di ruang prakteknya padahal sudah jam 8 malam. Terlebih Kailash sedang mengantar pesanan lukisannya ke Bogor, membuat Trisha semakin malas untuk pulang.

"Gue mau nginep di sini aja Bil."

"Kenapa? Nanti Mas Abi nyariin." Bila mulai masuk dan duduk berhadapan dengan Trisha.

"Dia lagi ke Bogor, paling sampe rumah tengah malem. Kalo gue pulang sekarang yang ada ketemunya sama mertua."

Bila yang mengerti akan hal itu hanya membulatkan bibirnya dan mengangguk paham. Semenjak hamil dan mertuanya tinggal bersama, tidak ada hari yang terlewat baginya untuk membicarakan itu pada Bila.

"Dikatain apa lagi kak sama Mamanya mas Abi?"

"Nggak dikata-katain juga sih, cuma kayak disindir aja kenapa di rumah ini masih ada pembantu. Mertua gue maunya yang di rumah ini biar diberhentiin aja, nanti yang biasa bantu di rumah Kailash bisa sekaligus bersihin di sini tiga hari sekali. Pangkas pengeluaran gitu maksudnya."

Dahi Bila mengerut mendengar cerita Trisha, "Emang yang bayar Bi Darmi, supir sama satpam di sini Mas Abi?"

"Uang gue sendiri. Jangankan rumah ini, rumah Kailash aja gue yang bayar Bil."

"Terus lu mau nurutin?"

"Gue nggak mau lah gila. Tiga orang yang kerja di sini itu udah ada dari gue kecil. Lagian rumah ini kan butuh dijaga, dibersihin setiap hari, ada kliniknya juga. Masa bersihinnya tiga hari sekali yang ada jadi sarang nyamuk sama banyak kuman."

"Penghasilan lu masih cukup kan buat semuanya?"

Trisha mengusap-usap dahinya seperti orang pusing. Kehamilannya semakin besar, pengeluaran juga semakin banyak. Sementara pemasukan hanya mengandalkan dari klinik. Padahal semua kebutuhan ditanggung oleh Trisha.

"Nggak cukup, tabungan gue menipis. Jadi pengin cariin kerja buat Kailash biar melukis itu jadi hobi aja, jangan dijadiin pekerjaan tetap."

"Emang orang tua mas Abi beneran nggak cari kerjaan lagi ya? Maksudnya kan walaupun perusahaan udah bangkrut tapi masih bisa kerja di tempat lain."

Trisha melepas kacamata dan stetoskop yang masih mengalungi lehernya, "Mantan orang kaya model kayak gitu mana mau kerja di tempat orang Bil, gengsi."

Benar, orang tua Kailash memilih untuk di rumah saja dan membantu mengurus Sekala. Padahal kalau dilihat umurnya masih dalam rentang produktif.

***

"Sa, kalo kamu nggak mau dengerin mama buat pecat pembantu yang di rumah kamu, biar yang di rumah ini aja. Kalo pagi sampe siang kan kamu di rumah, bisa kan buat urusin pekerjaan rumah. Biar nanti Mama yang antar Sekala kayak biasa."

Trisha memejamkan matanya berusaha menenangkan diri. Emosinya memuncak dan ingin melemparkan gelas di depannya. Menyesali mengapa ia tadi menurut saat Bila mengajaknya pulang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kopi TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang