WEDDING

6K 497 67
                                    

Tidak disangka bahwa Trisha akan menemukan tambatan hatinya di umur yang menginjak 27 tahun menuju 28 tahun. Banyak hal dalam hidup Trisha yang rasanya susah dijelaskan. Menjalani hidup sebagai anak tunggal dan tumpuan harapan bagi orang tua sebenarnya tidak membebani Trisha. Dulu gadis itu hanya khawatir bagaimana kalau dirinya terlebih dahulu yang dipanggil Tuhan. Siapa yang akan menjaga orang tuanya.

Ternyata rahasia semesta memang tidak ada batasnya. Ayah Trisha meninggal ketika dirinya masih berada di bangku kuliah. Sementara ibunya meninggal saat Trisha hampir mencapai puncak kesuksesannya. Biar Trisha ingatkan bahwa ibunya meninggal saat sebelum klinik Trisha dibuka.

Akankah hari ini Trisha mengingat keduanya lalu menangis? Tidak. Trisha hanya akan berandai jika orang tuanya masih hidup pasti akan bangga. Orang tua Trisha bangga karena anaknya bisa bertemu dengan laki-laki yang bisa melindungi dan menjaga Trisha.

"Kalo papa mama masih hidup, pasti ikut seneng juga liat Caca bisa menikah dengan orang pilihan Caca." Dialog Trisha.

Malam ini Trisha menginap di hotel yang menjadi tempat untuk acara pernikahannya dengan Kailash. Begitu juga dengan Kailash, ia berada di gedung yang sama tetapi lantai yang berbeda. Teman yang menemani Trisha hanya Bila karena Laras sedang ada acara keluarga. Ditambah adanya Salsa, desainer langganan ibunya membuat Trisha seperti kembali memiliki keluarga lagi.

"Ramai, aku suka."

Begitu kata perempuan yang kini sedang duduk di balkon. Pemandangan di depannya cukup indah, menampilkan gedung pencakar langit, gemerlap lampu jalanan, serta lalu lalang kendaraan di bawah sana.

Sudah pukul 23.30 dan kebanyakan keluarga besar Kailash pasti sudah tidur. Lihat saja, kini ponsel Trisha berdering menandakan ada panggilan yang harus ia terima.

"Hallo sayang?" Suara bariton menyapa di tengah terpaan angin yang Trisha rasakan.

Trisha masih diam, ia menguatkan dirinya agar saat bicara tidak ada suara yang bergetar seperti ingin menangis. Entah kenapa rasanya campur aduk sekali hari ini.

"Sayang ngomong.."

"Iya kenapa mas?"

"Lagi apa kamu? Kenapa belum tidur? Tidur gih biar besok nggak kesiangan, Sa."

"Belum ngantuk mas."

"Yaudah gapapa yang penting jangan lebih dari jam 12 ya sayang."

"Ya tergantung."

Gadis itu merubah posisinya menjadi berdiri. Satu tangannya berpegang pada besi pembatas yang ada di balkon. Menikmati city light yang sangat Trisha suka.

"Tergantung apa? Mati dong?"

"Tergantung kamu telfon aku sampe jam berapa."

"Oh ya udah aku matiin sekarang aja biar kamu bisa istirahat."

"IHHH jangan mas. Emang kamu nggak kangen aku?"

"Kangen sih."

Keduanya saling diam, Trisha juga tidak tahu apa yang sedang dilakukan Kailash di kamarnya.

"Mas, coba deh ke balkon."

"Dari awal aku telfon kamu juga udah di balkon kok. Kenapa?"

"Sumpah? Waw chemistry kita dapet banget ya. Aku juga di balkon. Hehe."

"Tapi kebanyakan orang yang telfon pasti di balkon nggak sih, Sa?"

"Halah Kailash.. Kailash... apa-apa serba dipatahin."

Terdengar gelak tawa di seberang sana padahal perempuannya saat ini sedang merajuk. Membuat Trisha marah sekarang menjadi hobi baru bagi Kailash. Sering sekali laki-laki itu mematahkan apa yang dijelaskan oleh Trisha.

Kopi TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang