Bab 2

1.7K 281 5
                                    

Simbah dan aku duduk kebingungan dengan terselip rasa takut, menghadapi orang-orang bertubuh tinggi dan bertampag sangar yang datang ke rumah kami. Sosok mereka yang besar mengisi ruang tamu kecil dan membuatnya terlihat sesak. Simbah memegang tanganku dengan erat, duduk di dipan menghadapi orang-orang yang menatap kami tidak berkedip. Sesaat hanya terdengar suara hujan bertemu genteng, dengan angin bertiup kencang dan menimbulkan derak yang sedikit menakutkan. Aku mengamati orang-orang ini dan bertanya-tanya, apa maksud kedatangan mereka kemari. Untuk apa ayahku mengirim orang datang? Apakah kami ada masalah dengannya? Setahuku, sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu. Harusnya tidak ada sangkut paut lagi.

"Kalian orang-orangnya Mulyoprojo?" Suara Simbah terdengar lirih. "Mau apa kalian kemari?"

Satu laki-laki maju, mengulurkan amplop kepada Simbah yang kebingungan. "Mbah, ini dari Juragan."

Simbah tidak menerimanya. "Apa isinya?"

"Kami kurang tahu. Tolong, Simbah terima."

"Ndak mau. Buat apa aku nerima sesuatu yang ndak tahu isinya. Sekarang aku tanya, apa niat kalian kemari? Apa yang diinginkan Mulyoprojo setelah bertahun-tahun ndak ada kabar?"

Orang yang mengulurkan amplop yang menjawab. "Kami diminta untuk membawa Mbak Bening ke rumah Juragan."

Aku terbeliak ngeri, sedangkan Simbah langsung marah. "Mau ngapain Mulyoprojo ingin bawa cucuku, hah? Mau apa dia? Setelah bertahun-tahun telantarkan anak istri, sekarang da mau datang bawa Bening? Sana, pulang kalian semua!"

Pengusiran Simbah tidak membuat orang-orang itu pergi, justru sebaliknya makin mendekat. Ia menghela napas panjang dengan dada berdebar tidak menentu. Entah bagaimana aku merasa kalau mereka tidak akan pergi begitu saja hanya karena diusir. Aku yakin mereka datang dengan maksud membawaku pergi dan tidak akan beranjak tanpa aku. Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa ayahku mendadak bertindak seperti ini? Selama ini kami tidak pernah menyusahkannya apalagi meminta-minta.

"Masih di sini? Kenapa kalian ndak pergi!"

Satu laki-laki merogoh hape dari saku dan memencet nomor-nomor. Tak lama terdengar suaranya yang lirih bicara dengan seseorang. Laki-laki itu mengulurkan hape ke arah Simbah.

"Tolong bicara dengan Juragan sebentar, Mbah."

"Ndak sudi aku. Suruh dia datang kemari dan bicara langsung denganku!"

Laki-laki itu kembali bicara dengan orang yang pastinya adalah ayahku. Matanya meliriku tajam, dan bicara dengan nada rendah yang penuh rasa hormat. Setelah itu mematikan panggilan dan kali ini menatapku lekat-lekat.

"Mbak Bening, Juragan menginginkan Mbak dibawa sekarang."

"Aku ndak mau!" jawabku ketus. "Aku akan tetap di sini bersama Simbah."

"Percuma Mbak Bening melawan, ndak ada gunannya. Kami diharuskan untuk tetap membawa Mbak. Ini semua demi kebaikan Mbak."

Aku menuding mereka dengan marah. Bisa-bisanya ada orang yang mengatakan kalau semua demi kebaikanku. Mereka tidak tahu apa-apa soal hidupku.

"Persetan dengan kalian! Cepat pergi, atau aku panggil hansip. Kalau ndak, aku akan teriak biar tetangga tahu!"

Mereka tidak bergeming, pastinya merasa kalau ancamanku sia-sia. Dalam keadaan hujan deras, tidak mungkin ada tetangga yang akan mendengar kalau aku berteriak. Tidak akan ada pula hansip yang lewat, jadi percuma mengancam seperti itu. Aku menggigit bibir, merasa kalah sekaligus takut. Orang-orang ini tidak akan pergi hanya karena bentakan. Mereka akan tetap di sini sampai aku bersedia pergi. Aku berdehem, berusaha sekali lagi untuk mengusir dengan baik-baik.

"Aku ndak akan kemanapun tanpa Simbah. Kalau kalian mau membawaku pergi, berarti harus sama Simbah."

"Ndak bisa, Mbak. Simbah, harus tetap di sini dan Mbak Bening ikut kami. Tolong kerja samanya, biar ndak ada yang tersakiti di sini."

Simbah bangkit dan menuding ke arah mereka dengan marah. Kata-katanya terdengar sangat geram, dengan jemari tua menunjuk gemetar. "Aku ndak mau kemanapun, begitu juga si Bening. Cucuku akan tetap di sini bersamaku. Bilang sama Mulyoprojo untuk jangan macam-macam. Dia ndak ada hak untuk bawa cucuku."

"Maaf, Mbah. Ini sudah perintah dan kami harus taat!"

Tidak ada gunanya berteriak atau menangis, orang-orang itu tetap menggelandangku pergi. Dengan kasar berusaha menyeret dan membawaku, tidak peduli kalau Simbah memeluk erat.

"Beniing, Nduuk! Kamu ndak boleh pergi!"

"Mbaah, aku juga ndak mau pergi. Mbaaah!"

Satu orang memegang Simbah dan berusaha memisahkan dari pelukanku. Tubuh kami yang berpelukan erat dipisahkan dengan paksa. Simbah meraung, begitu pula aku.

"Satu orang masuk! Ambil barang-barang Mbak Bening di kamar!"

Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Satu orang membekap mulutku dengan sapu tangan dan detik itu pula pandanganku mengabur. Suara tangisan Simbah terdengar samar-samar sampai akhirnya menghilang. Kesadaranku menurun dan tidak tahu apa-apa lagi.

Aku seperti berada di alam mimpi yang tidak jelas, penuh warna, wajah-wajah dan kondisi yang tidak menyenangkan. Seekor harimau berusaha untuk menerkamku dan aku berlari kencang, saat tubuh oleng dan masuk ke jurang, aku tersentak bangun. Mengerjap untuk menyesuaikan pandangan. Dada terasa sesak dan saat tersadar, aku berada di dalam sebuah kendaraan yang sedang berjalan. Ada dua laki-laki mengapitku. Perutku bergolak dan sangat mual. Menutup mulut menahan muntah sampai satu laki-laki melihat kondisiku dan mengulurkan kantong plastik hitam. Tanpa kata aku menyambarnya dan memuntahkan seluruh isi perut.

Mengelap bibir dengan punggung tangan, aku berusaha untuk bernapas dengan normal. Aroma keringat yang tajam terciuma di dalam mobil yang pengap. Sepertinya pendingin udara tidak berfungsi. Aku mengarahkan pandangan keluar yang gelap, tidak tahu sekarang berada di mana dan berapa lama sudah berada di perjalanan. Aku memikirkan kondisi Simbah dan hati kembali sakit ingin menangis.

"Mbak Bening, kita sudah sampai." Laki-laki dari balik kemudi bicara padaku.

Mobil memasuki pagar hitam tinggi, lalu menyusuri jalanan panjang yang diapit taman luas. Setidaknya itu yang terlihat dari pandanganku yang buram karena gulita malam. Mobil berhenti di sebuah rumah besar berlantai dua dengan warna dinding abu-abu yang memudar. Pintu kayu berukir membuka saat kami turun satu per satu dari mobil. Satu laki-laki menyeretku masuk melewati pintu dan membawaku ke ruang tamu yang luas dengan kursi dan meja dari jati. Aku berdiri gamang, menunggu seseorang datang. Sampai terdengar suara langkah-langkah menuruni tangga. Sepasang laki-laki dan perempuan berumur lebih dari setengah abad menatapku. Mereka mengamatiku dari atas ke bawah tanpa keramahan.

"Cantik bukan?" tanya si laki-laki.

Si perempuan mengangguk. "Lumayan. Meskipun kampungan."

"Ndak masalah, yang penting Pak Jagat suka."

Laki-laki itu terkekeh, mendekati dan mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahku dengan cepat aku tepiskan.

"Ckckck, anak ndak ada sopan. Aku ini ayahmu, apa kamu lupa Bening?"

Aku terbelalak tidak percaya, menatap laki-laki gemuk dengan kumis tebal di depanku. Apakah benar dia ayahku atau memang ingatanku yang mengabur?

.
.
Di Karyakarsa sudah bab 12.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang