Bab 5

1.4K 239 6
                                    

Laki-laki berusia matang itu tergolong cukup tampan kalau ada sikapnya lebih bersahabat. Wajah tanpa senyum, dengan tubuh tegang menjulang, tatapan matanya bukan hanya ingin membunuh tapi juga meremehkan. Aku terdiam di tempatku, menunduk menghindari pandangannya. Tapi, laki-laki itu berlutut di depanku, mengangkat wajahku dengan satu telunjuknya.

"Angkat kepalamu dan katakan, siapa namamu?"

"Bening." Aku menjawab lemah. Tidak menyukai nada bicaranya yang memerintah.

"Cantik, tapi terlalu kurus."

Perkataan laki-laki itu menimbulkan protes dari ayahku dan istrinya.

"Ndoroo, kalau perkara badan bisa dibuat lebih gemuk," ucap ayahku cepat. Seringai jelek muncul di wajahnya. "Kami akan pastikan kalau Bening mendapatkan asupan makanan dan vitamin yang cukup. Jangan kuatir, Ndoro."

Aku menghela napas panjang, menatap ke arah pintu. Menghitung jarak yang bisa kutempuh untuk mencapai sana. Seandianya aku berlari sekencang apa pun, pasti mereka akan menangkapku. Apakah dengan begini berarti harus pasrah? Menerima apa pun rencana jahat dari orang yang mengaku sebagai ayahku?

"Kamu yakin dia akan bisa hamil?"

"Bisa dicoba Ndoro, kalau ndak bisa'kan bisa dikembalikan lagi ke rumah ini."

Aku menghela napas panjang, makin banyak kata-kata yang kudengar makin muak diriku. Seolah aku sapi yang sedang diperdagangkan. Apa? Ingin membuatku punya anak? Laki-laki tinggi yang dipanggil Ndoro, sama gilanya dengan ayahku.

"Aku ndak suka dipermainkan, Mulyo. Kamu tahu bukan kalau aku marah akan bagaimana?"

Ayahku mengangguk patuh, menunduk dengan kedua tangan di depan tubuh. "Iya, Ndoro. Saya paham betul, makanya saya menawarkan yang terbaik."

"Dia anakmu sendiri? Bukannya anakmu laki-laki?"

Ayah menarik seorang laki-laki yang kira-kira berumur pertengahan tiga puluhan dengan rambut gondrong dan menunjukkan di hadapan kami semua. "Ini anak saya dari istri pertama. Namanya Argono. Dan itu istri Argono." Telunjuk ayahku terarah pada perempuan berwajah bulat yang berdiri di samping Restini. "Kalau Bening ini anak istri kedua."

"Aku ndak tahu kalau kamu punya dua istri."

"Sudah lama terjadi, istri kedua saya, Kalyani namanya. Kabur dari rumah dan—"

"Bohong!" Aku menyergah keras. "Ibu ndak kabur. Tapi Ayah yang mengusirnya!"

"Diam kamu!" Ayah melolot sambil membentak. "Jangan bicara sebelum aku suruh. Anak kurang ajar, ndak pernah dididik orang tua, jadinya berandalan begini. Ndoro, tolonglah saya. Hanya ini yang bisa saya berikan untuk Ndoro."

"Hah, berikan? Kamu menawarkan anak gadismu untuk membayar utang, Mulyo."

"Maaf, Ndoro. Saya ndak ada uang kalau bayar, makanya ini yang bisa saya tawarkan. Maafkan kami, Ndoro."

Air mata jatuh tidak tertahan saat aku tahu kenyataannya. Ternyata aku diculik dan disekap hanya untuk dijual sebagai ganti rugi utang. Laki-laki biadab yang melakukannya adalah ayahku sendiri. Bagaimana bisa ada orang tua sekejam itu? Bukankah ada pepatah kalau harimau tidak akan memakan anaknya sendiri. Kalau begitu, ayahku bahkan lebih kejam dari harimau.

Laki-laki bernama Jagad menatapku lekat-lekat, tidak terusik meskipun aku terisak. Begitu pula orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka hanya berpaku tangan, menatap penderitaanku. Ayahku, Restini, Argono dan istrinya. Mereka memang tidak mengenalku, justru itu seharusnya tidak boleh menganiayaku. Bagaimana pun aku ini manusia yang punya keinginan sendiri untuk hidup dan mandiri. Aku berhak untuk diriku sendiri.

Jagad menatapku lekat-lekat, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah, aku mau."

Ayahku dan keluarganya terlihat lega, sedangkan aku meraung. "Ndak mauuu! Aku ndak mau nikah!"

Tanpa kusadari ayahku datang, mencengkeram dagu dan berbisik di telinga. "Kalau kamu ndak nurut, jangan salahkan aku kalau terjadi apa-apa sama simbahmu. Orang tua itu sendirian, kasihan kalau dia kelaparan karena ndak ada uang. Pikirkan hal itu, Bocah Kampung!"

Simbah yang menjadi senjata mereka untuk menekan dan membuatku tidak berdaya. Jagad, seolah selesai membeliku kini berjalan keluar dengan angkuh diikuti beberapa laki-laki. Suara kendaraan terdengar menjauh, aku bersiap untuk lari ke pintu saat Restini datang dan menamparku. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali sampai tangannya lecet dan wajahku memar. Ujung mulutku berdarah karena sakit yang tidak terkira. Tidak ada yang menolongku, semua orang membiarkan Restini melampiaskan rasa marahnya.

"Gadis brengsek! Kurang ajar! Aku sudah berbaik hati dan kamu malah ngelunjak! Berani-beraninya menolak di depan Ndoro Jagad!"

Aku terkulai saat tamparan paling keras mengenai sisi kepala. Tidak cukup hanya itu, Restini juga memanggil anak dan menantunya untuk membantu memegangiku.

"Argono, kamu pegang lengan kanan. Saraswati, pegang lengan kiri. Anak ini memang harus terima hukuman."

Pukulan dan tamparan bertubi-tubi bersarang di tubuh. Ayah hanya melihat sambil merokok, tidak peduli kalau aku meregang nyawa sekalipun. Tidak bisa memberontak karena dua orang memegang tanganku. Ingin rasanya mati saja dan menyusul ibu, dengan begitu aku tidak perlu lagi menderita. Dari awal datang ke rumah ini, tidak henti-hentinya mereka menyiksaku. Menganggapku layaknya samsak untuk menuangkan emosi. Padahal aku manusia yang harusnya dihargai, tapi mereka tidak peduli itu.

Saat aku benar-benar sudah melemah dengan tubuh babak belur dan berdarah di semua tempat, Argono menyeretku. Kali ini bukan ke lantai atas melainkan kamar di lantai bawah. Dia melemparku ke ranjang kayu dan mengunci dari luar. Terdengar teriakan keras dari mulut mereka seiring erangan kesakitanku.

"Horee! Kita bebas utang, Buu!"

"Argono, kalau bukan karena kamu berjudi. Kita ndak akan punya utang sama Jagad!"

"Buu, aku ditipu. Ibu tahu sendiri bagaimana taktik Jagad agar orang-orang berutang padanya."

"Ingat, sekali ini saja kami menolongmu. Setelah ndak ada Bening, ndak ada orang lagi untuk ditukar."

"Untung ada Bening, Bu."

"Iya, ndak nyangka. Anak perempuan keparat itu ternyata berguna."

"Sayangku, suamimu ini bebas utang."

"Diam, berisik dari tadi." Kali ini suara ayah terdengar. "Suruh Menik mengurus Bening. Panggil dokter, obati luka-lukanya. Jangan sampai pas akad nikah dia terlihat lebam-lebam. Bisa-bisa Jagad membatalkan pernikahan."

Setelah hari itu aku tidak punya lagi tenaga untuk melawan. Sudah habis di tangan Restini. Perempuan itu tidak segan memukul dan menendangku. Belum lagi ancaman terhadap Simbah yang membuatku menangis tidak berdaya.

Hari demi hari aku lalui di kamar ini bersama Menik. Membiarkan gadis itu mengobatiku, menyuapi makan, dan merawatku. Menik tidak lupa membaca buku cerita yang dipinjamnya entah dari mana dan berusaha untuk selalu menghibur. Hingga hari pernikahan pun tiba. Beberapa perias didatangkan untuk mendandaniku dan perintah Restini sangat tegas pada mereka.

"Rias wajahnya yang tebal, jangan sampai terlihat luka-lukanya di wajah."

Tiga jam kemudian, aku berdiri di depan cermin panjang dalam balutan kebaya panjang putih. Rambutku disanggul dengan hiasan bunga melati dan kantil. Tidak ada senyum dari bibirku, hanya menatap diam pada wajah yang terutup riasan tebal bagai topeng.

.
.
Di Karyakarsa sudah update bab 24. Bening berubah menjadi Nyai Gendhis untuk balas dendam.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang