Bab 22

1.3K 285 7
                                    

Hari-hari berikutnya, aku dan Menik sibuk merencanakan pelarian kami. Agar tidak ada masalah, kami berusaha untuk tidak menonjol apalagi sampai terlibat pertentangan dengan Santika serta Jagad. Sepertinya kekuatiran dan ketakutan kami tidak beralasan karena setelah pagar pembatas jadi, keduanya tidak pernah lagi ke rumahku. Putus sudah hubungan antara kami, dan aku sama sekali tidak merasa senang karenanya. Setelah lukaku berangsur sembuh, memberanikan diri menemui Jagad. Untuk mencari tahu kejelasan tentang pernikahan kami. Kalau memang dia tidak menginginkanku lagi, lebih baik kalau bercerai saja.

Sutrisno dan Menik wanti-wanti agar aku hati-hati dalam bicara. Jangan sampai dipukul lagi oleh Santika dan Jagad. Demi masa depan aku memberanikan diri menemui Jagad. Kebetulan laki-laki itu sedang ada di kebun dan Sutrisno yang memberitahuku.

Siapa sangka, aku menemukan ayahku di sana. Dari balik pohon yang rimbun aku melihat bagaimana ayahku bersimpuh di depan Jagad. Meminta agar tanahnya tidak disita.

"Tolong, Ndoro! Kalau tanah saya diambil, nanti keluarga makan dari mana?"

"Itu bukan urusanku, Mulyo! Perjanjian dari awal adalah aku membebaskan bunga utangmu dengan tubuh anak perempuanmu. Tanah aku kembalikan seutuhnya padamu, kalau Bening hamil. Ternyata apa? Dia keguguran!"

"Masih ada kesempatan lagi, Ndoro. Bening masih muda. Dia masih bisa punya anak."

"Awalnya aku juga berpikir begitu, Mulyo. Tapi anakmu membuat ulah. Dia hampir membunuh Santika. Membuat keluarga mertuaku marah. Ndak tertolong lagi, Mulyo. Kamu bisa bawa anakmu kembali."

Aku mengepalkan tangan mendengar percakapan mereka. Tubuh dan jiwaku, diklaim begitu saja oleh keduanya seolah aku boneka yang mudah untuk digerakkan dan dikuasai. Terlalu marah dan kaget, aku bahkan tidak ingin beranjak dari tempatku berdiri.

"Ndoroo! Jangan, tolonglah kami ini orang kecil. Ambil saja Bening, lakukan apa yang Ndoro mau sama dia. Tapi, tolong kembalikan tanah kami!"

Pandanganku buram oleh air mata, mendekap mulut aku berjuang untuk tidak terisak. Harus tegar, harus kuat, orang-orang itu tidak berhak untuk setiap air mata yang tumpah. Mereka adalah iblis yang menjelma menjadi ayah dan tuan tanah.

Jagad menggeleng, pandangannya tertuju ke arahku. Untuk sesaat aku mengira kalau laki-laki itu tahu aku sedang menguping pembicaraan mereka. Berdiri tegap dan tidak bergerak, berharap kalau kehadiranku tidak disadari oleh Jagad. Laki-laki itu kembali mengalihkan pandangan pada ayahku. Di antara mereka ada banyak centeng yang berjaga, seolah-olah takut akan serangan. Para buruh sedang bekerja dan tidak ada yang berani untuk mendekat.

"Mulyo, ada seorang rekanku. Kepala Polisi di kota sebelah. Sudah tua, umur enam puluhan. Dia pernah melihat Bening sekali di rumah dan tertarik. Sepertinya aku akan menyerahkan Bening padanya. Kalau berhasil, utangmu aku anggap impas."

"Terima kasih, Ndoroo! Pasti berhasil. Pak Polisi pasti sangat menyukai Bening. Dia cantik, muda, dan lembut. Setiap orang pasti menyukainya, Ndoro!"

Tidak perlu lagi berlama-lama menguping, aku sudah tahu apa yang direncanakan Jagad. Merasa kalau diriku tidak berguna, dia ingin memberikanku pada orang lain. Tanpa mempertimbangkan apakah aku suka atau tidak, apakah aku menerima atau tidak. Bagi Jagad, aku hanya tubuh tanpa jiwa. Tidak berhak bicara, dan harus selalu menurut.

Aku nyaris tidak memperhatikan jalan pulang, setengah berlari menuju jalan raya dan memanggil becak. Sepanjang jalan aku menangis, sampai-sampai membuat tukang becak kebingungan. Hari ini aku akan menangis sepuasnya dan esok, harus mulai berbenah.

Sampai di rumah, aku memanggil Sutrisno dan menyerahkan semua perhiasan yang pernah dibelikan Jagad untukku.

"Jangan jual di satu tempat, harus terpisah-pisah agar tidak ada yang curiga."

Sutrisno melakukan apa yang aku perintahkan tanpa bantahan. Selama beberapa hari aku menunggu hingga uang terkumpul. Meminta pada Menik dan Lasmi, berpikir sekali lagi sebelum mengikutiku.

"Kami siap pergi, Mbak. Makan ndak makan, hidup atau mati, kami ingin bersama Mbak Bening," ucap Menik dan Lasmi, menyatakan kesetiaannya untukku. Rasa haru menyelimutiku. Kelak kalau aku berhasil, mereka adalah orang pertama yang harus aku buat bahagia.

Suatu malam, Santika mengadakan pesta. Dari selentingan yang aku dengar, perempuan itu berulang tahun. Tamu-tamu berdatangan dan gamelan menggema sepanjang malam. Orang-orang dalam keadaan mabuk, termasuk Jagad. Menggunakan kesempatan saat mereka lengah, aku, Lasmi, dan Menik menyusuri jalan kecil menuju tempat di mana Sutrisno menunggu kami. Tidak banyak barang yang kami bawa, yang terpenting adalah bisa selamat dalam perjalanan.

Pukul satu dini hari, kami mengetuk pintu rumah Mbok Darmi. Perempuan itu sama sekali tidak terkejut saat melihatku datang.

"Tunggu sebentar, aku siap-siap."

Mbok Darmi menyuruh Sutrisno pulang, dan perjalanan kami lanjutkan menggunakan mobil pick-up yang biasanya digunakan mengangkut sayur.

"Kebetulan tetangga mau kulakan sayur. Kita ikut dia sampai terminal, baru naik bus."

"Kita mau kemana, Mbok?" tanyaku.

"Ke rumah almarhum suamiku, Bening. Di sana, kita semua akan aman, jauh dari Jagad dan antek-anteknya."

Kami menempuh perjalanan panjang dari naik pick up sampai berganti bis menuju rumah lama Mbok Darmi. Pukul sepuluh pagi, saat kelelahan sudah menyergap, akhirnya perjalanan berakhir. Kami tiba di sebuah rumah tua yang luas dengan halaman yang ditumbuhi rumput dan ilalang.

"Kita bebersih dulu, sebelum istirahat."

Kami makan siang dari nasi yang dibeli saat di jalan. Setelah itu berkerja bakti membersihkan rumah. Aku dan Mbok Darmi menyapu serta mengelap bagian dalam, sedangkan Menik dan Lasmi membabat rumput serta membersihkan halaman. Selesai semuanya, kami tertidur pulas. Pertama kalinya, aku merasa aman dan tenteram, bisa tidur pulas tanpa rasa takut. Entah berapa lama aku tertidur dan saat bangun, matahari sudah tinggi dan malam terlewati dengan damai.

Aku memberikan seluruh uangku pada Mbok Darmi dan perempuan tua itu menolak. "Simpan saja, gunakan untuk makan sehari-hari. Kita ndak punya pekerjaan, akan lebih baik kalau berhemat."

Menik dan Lasmi berinisitif menanam sayur mayur di halaman, Mbok Darmi meracik jamu untuk dijual di pasar. Pertama kalinya aku merasa menyesal, tidak punya keahlian apa pun untuk membantu mereka mencari uang.

"Bening, kamu ditakdirkan bukan untuk jadi pekerja kasar seperti kami. Dari awal melihatmu, aku sudah tahu kalau kamu bisa terbang tinggi, dan lebih dari sekarang."

"Aku hanya ingin balas dendam, Mbok. Pada Jagad, Santika, dan ayahku. Mereka adalah orang-orang yang sudah menghancurkan hidupku.

"Dendam itu hanya akan mempersulit hidup. Aku tahu kamu itu marah pada kenyataan, marah pada orang-orang itu, tapi aku mau sekarang ini kamu fokus pada hidupmu dulu. Ingat, kamu masih punya Simbah. Dia menunggumu untuk menjemputnya."

Mbok Darmi benar, aku harus fokus pada diriku dan masa depanku dulu. Setelah kehidupanku stabil, aku baru memikirkan soal balas dendam. Tentu saja aku tidak akan mengesampingkan soal balas dendam, karena hal itu yang membuatku tetap bertahan dari kerasnya hidup.

"Buku-buku ini harus kamu baca dan pelajari. Kesampingkan rasa malu dan enggan dan belajarlah, Bening."

Selama beberapa hari berikutnya, aku mengunci di kamar dan membaca buku-buku dari Mbok Darmi. Entah dari mana dia mendapatkannya, tapi semua teori yang ada di buku adalah tentang perempuan yang menggunakan tubuhnya untuk memikat orang lain. Buku dan teori yang cocok denganku. Pilihanku tidak salah untuk berguru pada Mbok Darmi.
.
.
Tersedia di google playbook dan karyakarsa.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang