Terduduk diam di lantai yang dingin aku menunduk dan sama sekali tidak ada keberanian untuk mendongak. Dua orang yang sedang mengawasiku sekarang, duduk di kursi kayu. Sekilas mereka terlihat menakutkan dengan sikap yang sombong dan arogan. Laki-laki berkumis tebal itu mengaku sebagai ayah, sebuah pengakuan yang membuatku benar-benar bingung. Aku memang punya ayah, tapi tidak pernah mengingatnya. Rasanya sudah bertahun-tahun lalu sebutan anak melekat padaku karena memang tidak ada sosok orang tua di samping, kecuali tentu saja Simbah.
Aroma tembakau yang pekat tercium di udara senja. Terdengar dengkusan keras tak lama suara bentakan menggelegar.
"Angkat kepalamu! Dari tadi nggak ada sopan-santunnya sama orang tua!"
Apakah dia mengataiku, kalau benar berarti aku harus mengangkat kepala dan saat pandangan kami bertemu, laki-laki yang mengaku sebagai ayahku menyeringai.
"Begitu baru namanya anak Mulyoprojo. Bening, umurmu sudah 18 tahun pastinya. Kamu baru saja ikut ujian kelulusan SMU bukan?"
Dengan berat hati aku mengangguk.
"Hei, jawab. Kamu bisu?"
Perempuan tua yang juga bertubuh gemuk itu membentak. Aku menatapnya sesaat sebelum kembali menunduk.
"Ibu dan anaknya sama-sama bodoh dan kurang ajar. Aku ingat, bagaimana bodohnya Kalyani dulu. Sampai-sampai membuatku kesal."
"Sabar, Bue. Anak dari kampung ini baru saja datang kemari. Kalau kita terus marah-marah, bisa-bisa dia terkena tekanan batin. Ingat, hanya dia yang bisa bantu kita sekarang!"
Pasangan suami istri ini banyak bicara di depanku, tanpa mereka memperhitungkan bagaimana perasaanku. Apakah mereka tidak tahu kalau aku takut, bingung, dan terutama kuatir dengan Simbah? Di desa kami sedang hujan besar, Simbah sendirian dan bagaimana kalau terjadi sesuatu? Terutama kalau rumah bocor. Apakah Simbah baik-baik saja? Aku mikir sampai tidak sadar saat si perempuan datang dan mengacungkan telunjuk untuk mengangkat wajahku.
"Wajahmu cantik, persis seperti ibumu. Kalian orang kampung memang hanya bisa mengandalkan wajah. Jujur saja sebenarnya aku enggan membawamu kemari, tapi saat ini hanya kamu yang bisa bantu rumah ini. Bisa dibilang, kamu bantu juga ayahmu."
Aku menepiskan jemari yang mencengkeram dagu dan mendesis. "Aku nggak punya orang tua. Mereka sudah meninggal!"
"Anak kurang ajar! Dia itu ayahmu!"
Aku menggeleng cepat, menatap laki-laki berkumis tebal. "Ayahku sudah meninggal, bersamaan dengan ibuku."
"Wah-wah, benar-benar Emak Entis ndak ngajarin cucunya dengan baik! Bisa-bisanya dia mengatakan aku sudah mati. Padahal ibunya yang pergi dari rumah ini dan membawa lari anak perempuanku! Lihat sekarang, anakku sendiri ndak mau mengakuiku. Emak Entis, apa yang sudah kamu lakukan." Laki-laki berkumis tebal itu meraung dengan wajah merana, istrinya bergegas datang untuk menenangkan. Bagiku mereka tidak lebih dari sekedar bersandiwara saja.
"Aku ingin pulang," ujarku mengabaikan mereka. Bangkit perlahan dari lantai yang dingin. Perut masih mual dan tubuh gemetar menahan dingin dan lapar. Apakah mereka berniat menahanku sampai pagi dan tidak inginmenyuguhkan segelas air hangat mungkin. Paling tidak, kalau mereka tidak ingin menyikitiku seharusnya mengantarkan aku pulang lagi.
Di luar dugaan laki-laki yang mengaku sebagai ayahku tertawa terbahak-bahak, berdiri di depanku dan menatap dari atas ke bawah.
"Kamu mau pulang memangnya tahu jalan? Kamu ada uang? Pasti ndak ada. Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi setelah susah payah membawamu kemari?"
"Selama bertahun-tahun kita ndak berkabar, ndak ada urusan lagi."
"Ssst, kamu banyak bicara Bening. Begini aku kasih tahu kamu, sengaja aku bawa kemari kamu untuk nolong kami dan juga Simbah kamu. Kalau kamu berhasil, Simbah kamu juga akan bahagia karena cucunya jadi kaya raya."
Aku menggeleng cepat, tidak merasa kalau apa yang mereka katakan adalah sesuatu yang baik. Aku tidak ingin menjadi kaya melalui cara yang tidak kumengerti. Tidak ingin jauh dari Simbah dan terlebih lagi tinggal bersama orang-orang ini. Meskipun mengaku sebagai keluarga, tapi aku tidak merasa dekat dengan mereka. Yakin juga kalau apa pun yang mereka tawarkan bukan sesuatu yang baik untukku. Lebih cepat pergi dari sini, akan lebih baik untukku.
"Aku ingin pulang seperti kalian membawaku tadi. Kita ndak ada urusan selama ini, jadi kalian ndak punya hak untuk menahanku."
"Hak! Kamu bicara tentang hak, Beniing? Aku ini ayahmu, walimu, tanpa aku kamu ndak bisa menikah!"
"Ndak masalah, yang terpenting aku bisa pulang."
"Tidak bisa, kamu tetap di sini. Besok utusan Pak Jagad akan datang melihatmu. Kalau mereka setuju kamu akan menikah dan hidupmu akan enak."
Menikah? Siapa dengan siapa?
Perempuan tua itu mendatangiku dan tertawa keras. "Gadis kampungan sepertimu, harus merasa bahagia karena mendapatkan suami yang kaya raya. Bening, kamu beruntung!"
"Ndaak! Aku ndak mau menikah. Aku mau pulang!"
Ayahku berteriak keras dan menunjuk ke arah pintu dengan gusar. "Pulang sana! Biar kamu mati di jalanan. Diperkosa, dirampok, dan dibunuh orang. Kamu mau begitu? Sana pergi!"
Sebuah makian penuh dengan amarah. Jujur saja aku takut tapi tinggal di sini lebih menakutkan. Otakku berputar dengan cepat sambil mencari jalan keluar. Rasanya aku bisa pulang kalau memang ada tekat. Daerah sini lebih ramai dan lebih besar dari desaku, tidak akan sulit menemukan kantor polisi. Ya, aku pasti bisa pulang kembali bertemu Simbah. Tidak sudi kalau dipaksa menikah oleh mereka. Hanya karena laki-laki tua itu mengaku sebagai ayahku, tidak lantas semua permintaannya harus aku turuti. Melangkah tertatih ke pintu, untuk sesaat terdiam menatap kelam malam.
"Pak, kamu mau biarin dia pergi?" Perempuan itu berteriak.
"Biarkan saja, paling mati di jalan!"
"Lebih baik di mati di tangan Jagad, paling tidak utang kita sudah lunas. Dari pada mati di jalan, mubazir!"
Kata-kata mereka sungguh kejam, menganggapku tak ubahnya hewan. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu ternyata laki-laki yang mengaku sebagai ayahku, lebih jahat dari pada yang aku pikirkan. Lebih cepat aku pergi dari sini lebih baik untuk keselamatan. Aku melewatu pintu, meskipun tubuh lemas tapi berusaha untuk berlari. Melewati teras samping, garasi, dan halaman. Terus berlari sampai terdengar teriakan dan langkah kaki.
"Tangkap diaa! Kurung di lantai atas!"
Sialan! Mereka benar-benar monster. Tidak ingin kembali tertangkap aku berlari secepat mungkin, menjauh dari orang-orang yang mungkin bisa membunuhku. Sayangnya, dengan keadaan temaran, di tempat yang tidak kukenal dan berhadapan dengan orang banyak yang jauh lebih kuat, dengan cepat aku tertangkap.
"Lepaskan akuu! Lepaskan!"
Sekuat tenaga berusaha melepaskan diri, cengkeraman mereka terasa sakit di bahu dan tubuhku yang lain. Aku dipaksa untuk menunduk, sebelum akhirnya dibopong dengan maksa menuju lantai dua. Percuma aku berteriak, tidak ada seorang pun yang berniat menolongku.
"Toloong! Tolooong!"
Aku melihat sekilas wajah ayahku yang menyeringai kejam di samping istrinya yang tidak kalah kejam itu. Sebelum akhirnya dilempar ke aras dipan keras dan dikunci dari luar. Aku berusaha untuk keluar menggedor pintu dengan tenaga yang tersisa dan akhirnya hanya bisa bersimpuh dengan tubuh lemas lalu menangis di depan pintu. Simbaah, aku kangen Simbah. Pingin pulang dan meluk Simbah.
.
.
Di Karyakarsa update bab 18
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Kedua
RomanceBersetting tahun 1990-an, cerita ini akan membawa kisah Bening yang penuh lika liku dan pernikahannya yang berakhir tragis dengan Jagat.